Hati hati typo
*******
“Gracia...” Anin mengetuk pintu mobilnya. “Kok nggak ngajak gue?” Tapi kekesalan Anin berganti dengan kekhawatiran ketika melihat Gracia menangis. “Buka pintunya, Graciaaaa.” Anin menggedor kaca dengan kencang.
Dari luar, Anin melihat Gracia mengambil tisu dan buru-buru menghapus air matanya sebelum dia membuka pintu mobilnya.
“Ada masalah apa, Gre?”
Gracia masih menggeleng, dia bungkam dan tidak ingin menceritakan apa-apa tentang masalahnya.
“Gue lagi kacau aja, Nin...hari ini gue ngecewain banyak orang.”
Anin menghembuskan nafasnya. Apa yang diucapkan Gracia memang benar semua. Dia kacau dan tidak fokus. Sebagian kru juga bertanya-tanya dengan kondisi Gracia yang tidak pernah seperti ini.
“Gue telepon Shani buat jemput Lo, ya?” tawar Anin. “Biar gue yang ngomong sama Frans, bagian Lo diambil besok aja.”
“Jangan, Nin.” Shani adalah orang terakhir yang ingin dilihat Gracia. Dia belum sanggup berakting baik-baik saja didepan suaminya itu. “Shani lagi sibuk,” jelas Gracia saat melihat kebingungan di wajah Anin.
“Mbak Gracia,” panggil salah satu tim make up berdiri disamping pintu mobil Gracia.
“Iya, ada apa?”
“Ini dari Mas Frans,” Ucap perempuan itu sambil menyodorkan sekotak es krim rasa coklat.
“Hah? Frans?” tanya Gracia bingung.
“Iya, saya tadi disuruh beli es krim sama Mas Frans dan kasih ke Mbak Gracia.”
“Makasih ya.” Anin yang mengatakan pada perempuan itu karena sepertinya Gracia belum paham. Perempuan tersebut tersenyum dan pergi.
“Pengen deh, punya mantan yang perhatian kayak Frans.” Anin tertawa sambil mengambil kotak es krim ditangan Gracia.
“Udah dibeliin, ayo dimakan, nanti mubazir.”
Gracia tersenyum dan menuruti Anin. Ayo, Gracia, jangan nyerah! Jangan nangis lagi! Jangan kalah!”.
*******
Malam itu, Shani tau...dia telah menyakiti Gracia dengan pergi begitu saja. Tapi saat mendengar suara Nadse yang menangis, satu-satunya yang dia tau adalah datang secepat mungkin untuk memastikan kondisi Nadse.
Shani masih ingat, dengan wajah Gracia yang berubah muram ketika dia pergi. Dan itu justru membuat hatinya tidak tenang. Dia berjanji akan segera kembali, tapi nyatanya terlalu banyak hal yang harus dia bicarakan bersama Nadse.
Gracia adalah istrinya dan Nadse adalah perempuan yang pernah dia cintai. Keduanya sama-sama penting. Karena ketika Shani bersama Nadse, yang ada dalam pikiran Shani adalah Gracia. Dia tidak ingin menyakiti Gracia... tapi melihat Nadse terluka, ia juga tidak tega.
Dan, hari-hari berikutnya, Gracia seperti menjauh darinya. Mereka hanya bicara sekadarnya saja. Gracia menghindar dan Shani tau itu bukan sifat istrinya. Gracia yang suka meledak-ledak, justru jauh lebih baik dibanding harus bersikap dingin seperti sekarang.
Shani : Aku jemput ya.
Shani : Kamu syuting dimana, Gracia?
Berjam-jam Shani menunggu pesannya dibalas, tapi Gracia sama sekali tidak membalasnya.
*******
Bagi Gracia, cinta adalah sebuah keputusan yang harus dipilih. Keputusan akan berbahagia atau justru jatuh dalam kehancuran. Dan baru saja dia melupakan keputusannya itu.
Kalau memang cinta itu bukan untuk dirinya, jadi buat apa memaksakan? Ini adalah sebuah kalimat kekalahan yang tanpa sadar terlintas dibenaknya.
Jam dua pagi, Gracia membuka pintu apartemen. Tadi, ketika pikirannya kacau, gracia tidak ingin pulang ke tempat dimana Shani berada. Tapi, hatinya menyuruh untuk tidak melarikan diri. Cukup beberapa hari kemarin, dia bersikap seperti anak kecil dengan menghindari Shani.
Perempuan dewasa harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, kan? Dan sudah semestinya dia menghadapi Shani apapun yang terjadi.
Shani, aku kangen kamu! Cuma sama Shani, Gracia bisa marah dan juga rindu disaat bersamaan. Cintanya terlampau besar, hingga Gracia yang sekarang terlalu mudah terbawa perasaan dan melupakan logikanya.
Dibukanya pintu kamar, Shani sudah pulas tertidur dan Gracia tersenyum melihatnya. Semoga kamu mimpiin aku ya, Shan. Masa dimimpi aja aku salah sama Nadse!
Selesai cuci muka dan berganti pakaian dengan daster Barney-nya, Gracia merebahkan dirinya disebelah Shani dan menarik selimut sampai lehernya. Baru beberapa menit dia memejamkan mata, tangan Shani sudah melingkar di pinggangnya.
Gracia menggigit bibirnya. Ada dalam pelukan Shani seperti sekarang adalah hal mewah untuknya.
“Aku teleponin kamu tapi nggak bisa-bisa! Kamu sengaja?”
Kening Gracia mengernyit, jelas tadi dia menangis karena Shani tidak menghubunginya sama sekali. Dilepaskannya pelukan Shani dan Gracia bangun dari ranjang untuk membuka tasnya.
Astaga! Saking stresnya karena Nadse, handphone pribadi nya kehabisan baterai. Sementara tadi dia menunggu Shani menelepon di nomor yang dikhususkan untuk masalah pekerjaan.
“Bateraiku abis,” kaya Gracia dan melihat Shani sudah duduk di ranjang.
Shani seperti tidak percaya. Dan merasa itu hanya alasan yang diberikan Gracia saja untuknya. “Kamu marah sama aku?”
“Ngaruh nggak, sih, kalo aku marah?”
Gracia, perempuan itu terlihat tenang dan tidak terusik, bahkan tidak terlihat cemburu padanya. “Maaf,” kata Shani. Entah ini sudah menjadi kata ‘maaf’ yang keberapa kali dia ucapkan sejak kemarin.
“Kemarin aku nungguin kamu, padahal aku ngantuk banget,” ucap Gracia jujur dan tanpa beban. “Kamu Nggak kasih kabar apa-apa.”
Shani bergerak maju, dia tau Gracia hanya berpura-pura kalau dia baik-baik saja. Ditatapnya mata Gracia sebelum bibirnya menyentuh bibir milik Gracia.
Ciuman itu tidak selembut biasanya. Shani yang kini ada dihadapan Gracia, tidak menunggu lama untuk menguasai bibir Gracia. Ketika Gracia membalasnya, Shani menghisap rasa manis yang tercipta di antara pagutan liar mereka dengan segala kerinduan...dia merindukan Gracia. Sangat.
“Kamu pikir dengan ciuman ini masalah kita jadi selesai?” Gracia menarik kepalanya agar menjauh.
“Ssstt...aku kangen kamu! Bisa kita lanjutin besok marahnya?” Shani diam dan kembali mencium bibir Gracia.
*******
“Halo, Gre...”
Gracia masih terlelap dan tidak melihat nama yang menelepon dirinya. Tapi, siapa lagi yang memanggilnya dengan panggilan itu, kalau bukan papanya? Dan ada apakah pagi-pagi begini sang papa meneleponnya? Gracia langsung duduk dan menarik selimut untuk menutup tubuhnya.
“Halo, Pa,” ucap Gracia sambil berdehem. “Tumben pagi-pagi telepon. Ada apa?”
“Pagi-pagi? Ini udah jam sembilan,” sindir Harlan halus.
Gracia terdiam sesaat, papanya itu paling sebal dengan orang yang bangun siang. Walaupun Gracia anak tunggal bukan berarti dia bisa hidup semaunya. “Tadi udah bangun, Pa, terus aku tidur lagi,” jawab Gracia berkelit.
“Gimana kabar kamu, sayang? Sehat?”
“Sehat, Pa. Papa gimana kabarnya? Aku kangen sama papa, pengen ke rumah tapi belum sempat. Maaf ya Pa.”
Harlan menghela napas, tapi lega mendengar kabar Gracia baik-baik saja. “Papa kangen juga, sih, sama anak perempuan nya.”
“Ah, Papa...” mata Gracia berkaca-kaca.“Kita makan siang bareng yuk, Pa. Nanti aku yang jemput, deh. Mau kan?”
“Hmm...”
“Katanya kangen tapi sok jual mahal.”
Harlan tertawa. “Papa tunggu ya.”
“Oke, pa.” Gracia tersenyum mengakhiri percakapan. Dan disebelahnya, Shani masih terlelap... ternyata bukan hanya dia yang beberapa hari ini kurang tidur, Shani juga. Suaminya itu malah bilang, 'jangan bangunin aku! Aku kangen tidur'.
*******
Harlan sudah duduk di ruang kerjanya bersama Sebastian orang kepercayaannya. Beberapa laporan pagi itu membuat moodnya memburuk. Perjanjian yang telah dia sepakati dengan keluarga Natio awalnya berjalan mulus, tapi belakangan salah satu anak perusahaan Shani ada yang terang-terangan meminta bantuan padanya.
Suntikan dana segar yang diberikan Harlan sudah melampaui batas dan belum ada tanda-tanda salah satu anak perusahaan dari Natio Group yang bergerak di bidang retail itu dapat memberikan keuntungan.
“Langkah selanjutnya mau gimana, Pak?” tanya Sebastian.
“Suruh tim analis liat pergerakan saham mereka! Dan segera laporkan pada saya hasil pengamatannya! Kalo mereka memang tidak bisa menghandle biar kita saja yang ambil alih keseluruhan.”
Sebastian mengangguk ragu.
“Kenapa?” tanya Harlan.
“Lebih baik buat perusahaan baru, dibanding kita harus mengambil perusahaan yang manajemennya tidak jelas, Pak.”
“Saya juga berpikir begitu. Tapi bagaimanapun kesepakatan harus dipegang kan? Janji adalah janji.”
Sebastian paham dan tidak bicara lagi. Ada janji yang tidak tertulis antara Harlan dan Natio. Dan, Harlan tidak akan melupakan itu.
*******
Anin : Dapet salam dari Frans
Gracia : Apaan sih Nin
Anin : Hahaha
Anin : Berarti es krim yang dibeliin Frans nggak ada peletnya.
Anin : Nanti ke lokasi jam tiga ya. Jangan lupa.
Gracia : Iya Anin
Gracia : Gue mau ngedate dulu sama Papa. Sampe ketemu nanti.
Anin : Oke.
Gracia melirik Shani yang sedang fokus melihat jalanan. Hari ini Shani memaksa untuk mengantar jemput dirinya seharian. Entah ada angin apa Shani jadi baik begitu padanya.
“Kamu nggak mau ikut makan siang sama aku?” ajak Gracia.
“Aku nggak mau ganggu waktu kamu sama Papa.” Shani tersenyum menjelaskan. “Kamu makan siang, aku ke kantor sebentar. Nanti baru aku jemput kamu lagi, gimana?”
Gracia mengangguk senang.
*******
Wajah Harlan masih tetap ganteng, terlihat segar dan sehat. Gracia senang melihat papanya yang tetap survive, walaupun sekarang hidupnya tak lengkap lagi. Sesudah mencium tangan Harlan, Gracia menceritakan banyak hal pada Papanya itu. Kecuali satu hal, tentang syuting. Bisa-bisa suasana hangat antara mereka akan menjadi panas seperti di ring tinju.
“Kapan Papa bisa gendong cucu?” potong Harlan.
Gracia nyengir dan memikirkan jawabannya. “Segera, Pa...” jawabnya ragu-ragu.
“Apa dia baik sama kamu?”
“Dia? Dia siapa?”
“Suami kamu.”
Wajah Gracia merona dan tersenyum. “Shani? Iya, sebagai suami dia menjalankan tugasnya dengan baik.”
Harlan terlihat lega. Jawaban Gracia sudah cukup membuatnya tenang. Satu-satunya yang berharga bagi hidupnya adalah kebahagiaan Gracia.
*******Pada masih mudik kah? Kemana aja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us
RomanceKamu sekarang mengerti kan? rasanya Shani Indira Natio & Shania Gracia