14

4.6K 384 17
                                    

Hati hati typo

Yaudahlah ya masih pagi padahal

*******
Diatas sofa panjang yang empuk, Gracia tengkurap sambil membaca naskah. Sejak makan siang, Gracia belum beranjak dari sana. Dia frustasi ketika dia harus mengulang adegan untuk scene 17 berulang kali.

Akting apa pun akan Gracia lakukan, tapi memerankan perempuan nakal yang memiliki tugas merayu laki-laki dengan sensual, Gracia mengernyitkan keningnya. Kalau Shani yang jadi lawan mainnya, mungkin dia tidak akan sefrustasi ini.

Pada film terbarunya, Gracia akan memainkan peran antagonis. Dan sekarang? Gracia butuh waktu untuk mendalami karakternya sebagai perempuan penggoda yang memiliki pekerjaan sebagai pembunuh bayaran. Frans pun meminta Gracia untuk belajar ilmu beladiri untuk mendukung perannya. Gracia menyanggupi itu semua demi keberhasilan film ini. Tapi menjadi gadis perayu? Dia harus belajar sama siapa?

Kembali lagi pada permasalahan utamanya, Gracia harus merayu lawan mainnya dan dia belum ada bayangan sama sekali harus seperti apa.

“Gracia...”

Gracia sama sekali tidak mendengar Shani membuka pintu dan tiba-tiba suaminya sudah berdiri didekat meja makan.

“Shani, kamu jangan bergerak ya! Diam disitu dulu,” kata Gracia dan sesuatu yang cemerlang muncul di otaknya.

“Kenapa?” Shani baru saja mengambil gelas, tapi Gracia menyuruhnya diam.

“Diam dulu, tunggu aku disana!” perintah Gracia dan Shani menurut saja.

Gracia berdiri, dia melepaskan ikatan rambutnya, hingga tergerai sempurna. Selanjutnya, dia berlari cepat ke kamarnya dan memoleskan lipstik berwarna merah tua ke bibirnya.

“Gracia, kamu mau ngapain?” Shani yang tidak mengerti apa-apa makin bingung. Dia pulang, bukannya disambut malah diminta berdiri seperti sedang dihukum.

“Sebentar, awas ya kamu jangan ke mana-mana,” teriaknya dari kamar.

Gracia berjalan menghampiri Shani. Tatapannya tajam saat berhadapan dengan mata Shani, Gracia tersenyum. Bukan senyum manis, melainkan senyum menggoda yang menyimpan hasrat. Jemari Gracia bergerak menyentuh tengkuk Shani dan memberi kecupan kecil di leher Shani.

Tangan Gracia bergerak lihai menanggalkan jas yang dipakai Shani, lalu melepaskan simpul dasi dan setelah itu membuka kancing kemeja Shani satu per satu. Tatapan Gracia masih sama liarnya dan penuh percaya diri. Hanya terfokus pada Shani.

Shani mulai terpancing pada permainan yang Gracia ciptakan, tangannya dengan bebas memeluk pinggang Gracia agar merapat pada tubuhnya.

Sampai sejauh ini, sepertinya usaha Gracia cukup berhasil, karena Shani bersiap untuk mencium Gracia dengan lapar.

“Siapa yang ngajarin kamu kayak gini gracia?” bisik Shani sebelum bibirnya mencium bibir Gracia.

Gracia malah tertawa terbahak-bahak. Karena akting nya gagal. Shani saja merasa janggal dengan tindakannya tadi.

“Aku tadi lagi belajar akting, tapi kayaknya nggak berhasil, deh.” Wajah Gracia terlihat memelas. Dia berjalan ke dapur dan meninggalkan Shani.

“Kamu mau minum apa, Shan? Air dingin atau panas?”

Akting kata Gracia? Shani melihat Gracia yang membelakangi dirinya dan tengah menghadap meja dapur. Jangan pernah menyalakan api, kalau tidak bisa memadamkannya. Dan kalimat itu benar-benar terjadi pada Shani untuk kesekian kalinya. Gracia senang sekali menggodanya dan akhirnya pergi begitu saja.

Dan apa tadi tawaran Gracia? Yang dingin atau yang panas? Otak Shani sudah panas mendidih dan satu-satunya cara hanya Gracia yang bisa mendinginkannya. Shani berbalik dan memeluk tubuh Gracia dari belakang.
Merengkuh tubuh Gracia dalam dekapannya, sementara kedua tangannya menyelinap ke dalam kaos Gracia.

“Kamu mau main-main sama aku?”

“Hmm.” Gracia tidak bisa bisa menjawab karena geli akibat ciuman yang diberikan Shani disekitar lehernya.

“Didapur, kamar, atau sofa?” tanya Shani lagi.

Gracia berhasil menangkap tangan Shani yang leluasa menyentuhnya. “Aku tadi kan Cuma bercanda,” Gracia beralasan.

“Tapi aku nggak nganggep kamu bercanda.” Suara serak Shani membuat Gracia tidak lagi berkutik karena setelah itu kedua tangan Shani mengangkat tubuh Gracia ke sofa.

*******

Baru saja Shani menunduk ingin mencium Gracia, tapi suara panggilan di ponsel Gracia itu mengacaukan segalanya. Gracia dengan mudahnya mengambil ponsel miliknya yang berada di meja. Saat itu juga, gracia menyesali karena telah mengambilnya. Harusnya tadi dia membiarkan Shani menciumnya saja.

Karena yang meneleponnya adalah Frans. Iya, Frans dan Shani sudah pasti melihat nama itu dengan jelas.

“Loudspeaker, Gracia.” Perintah Shani.
Gracia ingin mereject panggilan itu, tapi Shani lebih cepat merebutnya. Yang dilakukan Shani hanya mengaktifkan mode loud speaker  dan menyerahkan handphone pada Gracia lagi.

“Kamu lagi dimana, Baby?” kata Frans
Ini si Frans, kenapa pakai panggil Baby segala sih.

“Aku di apartemen, Frans. Ada apa?”

“Aku baru selesai meeting. Dan keputusan akhirnya, buat mengubah image kamu selama ini, kamu bisa nggak potong rambut?”

Gracia menatap Shani dan melihat suaminya itu tidak suka dengan permintaan Frans.

“Nanti aku pikirin lagi, ya” jawab Gracia dan dia berusaha mati-matian menahan desahannya karena Shani dengan sengaja mencium leher Gracia dan menyentuh nya sesuka hati.

“Oh iya, aku juga udah cari beberapa pilihan ilmu beladiri. Besok kamu trial dulu aja baru nanti kamu pilih mana yang kamu suka.”

“Oke, ada lagi, Frans.”

“Kamu nggak suka, ya. Aku telepon? Kok, kayaknya pengen buru-buru gitu?”

Bukannya nggak suka, tapi Shani ini loh....

“Iya, nih. Aku lagi masak,” jawab Gracia bohong dan langsung saja mendapat tatapan sinis dari Shani. “Nanti aku telepon lagi ya, Frans. Nggak apa-apa kan?”

“Sejak kapan kamu bisa masak Gre?” ledek Frans.

“ini masak yang gampang aja kok. Teleponnya udahan dulu ya?”

“Oke, aku tunggu telepon kamu.”

“Iya.” Gracia mematikan ponselnya dan dia mencoba bangun dari sisi Shani dengan kesal.

Tapi tangan Shani tetap menahan Gracia agar tidak pindah. Dilumatnya bibir Gracia dengan rakus, tak peduli pada kekesalan Gracia. Ada laki-laki diluar sana yang memanggil istrinya engan sebutan Baby, lalu menyuruh Gracia untuk memotong rambut nya?

“Aku suka rambut panjang kamu,” ucap Shani tegas sambil membelai rambut Gracia. “Tapi terserah kamu mau dengar aku atau orang yang tadi telepon kamu.”

“Frans itu, dia sutradara nya.” Jelas Gracia, walau Shani tidak memintanya.

“Apa semua sutradara panggil kamu dengan panggilan Baby?”

Frans, iya, saat ini Gracia ingin mencincang pria itu. Panggilan itu harusnya sudah kadaluwarsa semenjak mereka putus.

“Nggak bisa jawab?” lagi-lagi Shani menekan Gracia dengan tatapannya yang dingin. Sedetik kemudian, Shani tersenyum sambil mencium bibir Gracia sekilas.

“Besok bilang ke dia, kalo masih berani panggil kamu dengan sebutan Baby, dia nanti berhadapan dengan ku. Paham?"

Gracia tidak takut sama sekali dengan ancaman Shani. Toh, dia tidak pernah meminta Frans memanggilnya seperti itu.

Shani memilih duduk dan melupakan gairahnya begitu saja.

“Frans itu mantanku.” Akhirnya Gracia menjelaskan. “Tapi sekarang kita Cuma temenan. Aku pun putus sama dia, jauh sebelum kenal kamu.”

Gracia bisa melihat Shani tampak tidak antusias mendengar penjelasannya, tapi tetap bercerita bagaimana dulu hubungannya dengan Frans. Frans yang lebih fokus pada dunia kerjanya dan menomorduakan Gracia, dan hubungan mereka pun berakhir dengan baik-baik.

“Masih marah? Aku udah cerita semuanya lho,” ucap Gracia sambil menyenderkan kepalanya di bahu Shani dan mengelus dada suaminya itu.

“Kata Anin, Shani itu emang ganteng dan Frans itu menggoda iman. Tapi tenang aja, aku nggak bakal tergoda sama Frans kok.”

Kening Shani mengernyit. Bukannya tenang mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Gracia, Shani malah makin kesal karena dibanding-bandingkan dengan Frans.

“Kenapa dulu kamu nggak nikah sama Frans?”

“Kan, dia bukan pengusaha kayak kamu,” jawab Gracia dengan mudahnya dan dibalas dengan tatapan sinis dari Shani.

******

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang