15. | a sweet healer

37.4K 6K 1.5K
                                    

today's challenge: say hi to your favorite character of this story!









"Ya Allah ini tempat tinggal manusia apa badak bercula satu sih, La!"

Aku meringis.
Membiarkan mama masuk lebih dulu sembari menggeret koper, lalu disusul Lo tanpa suara. Melepaskan kaca mata hitam, aku buru-buru memungut sampah-sampah yang berserakan di ruang tamu, meja makan dan wastafel.

Sedihku memang nggak terlalu ketika ada di rumah+studio, tetapi sampai apartemen, semua hal tentang Hago kayak menghantam kepalaku sampai pening, mengiris jantung dan paru-paru dalam ukuran kecil, lalu diblender sampai remuk. Pokoknya aku benci Hago sampai ke nadi-nadi!

Benci sebenci-bencinya!

Bahkan mataku setiap pagi pasti selalu membengkak karena malamnya aku nggak bisa untuk tidak menangis. Halah, La, cowok kayak gitu kenapa harus ditangisin. Logikaku selaku mencela dengan kalimat itu, tapi hatiku tetap aja sakit.

Dua tahun!

Ya Rabb.
Dua tahun jagain jodoh orang.

"Ini kutang di lantai! Bekas kaleng minuman di lantai. Untung nyawamu nggak ikutan ungkang-ungkang di pinggiran kasur ya, La, ya."

Mama menenteng kaca mata pelindung dua gunung kesayangan para pendaki cowok, berdiri di pintu kamar dengan muka siap mengirisku tipis-tipis macam tempe.

Setelah memasukkan sampah ke tempat semestinya, aku mendekat dan merebut benda yang tak seharusnya dilihat itu.

"Kayak gini kelakuanmu ternyata kalau tinggal di apartemen? Makanya, udahlah nggak usah belagu. Jiwa anak kost sok-sok tinggal di apartemen. Jadi syok kan kamu."

Ya ya ya ya ya.
Lanjutin aja, Ma, sesukamu. Aku lebih milih menuang jus instan mangga dari kotak besar ke dalam gelas, lalu menenggaknya sampai habis. Galau bikin gampang haus, apalagi mama sudah ada di sini. Makin rawan dehidrasi nih aku.

"KaLa."

"Hm."

"Ada sikat gigi baru enggak?"

Aku berdiri, membuka kabinet dan menyerahkannya pada adikku. "Pasta giginya bawa?"

"Bawa semua kok. Ternyata yang ketinggalam cuma sikat gigi."

"Lo ..." Dia yang sudah melangkah, behenti dan kembali membalikkan badan. Aku langsung mendekat, memeluknya erat. "Kalau kamu udah besar nanti, jangan jadi cowok nggak bener ya. Harus hargai cewek, kamu kan punya mama sama KaLa. Ngerti kan?"

"Apasih." Dia menarik diri, melirikku sekilas, lalu menuju kamar kosong yang kusiapkan untuknya itu.

Dasar.
Punya adik satu nggak ada manis-manisnya. Sudah jarang ngomong, sekali ngomong kadang bikin jantungan. Tapi, meski begitu, aku tetap sayang dia. Kayaknya dia juga sayang aku, buktinya dia tetap mau ke sini kan meski sekolahnya nggak libur? Padahal, pak presiden yang sibuk sekali aja tahu, betapa si Lopizo sangat menyukai kegiatan sekolah.

Ya, Lopizo Cakrawala.
Adik semata wayang yang nggak paham-paham kalau kakaknya ini kadang kangen berat dan pengin meluk dia. Si anak yang diberi nama oleh mama karena terinsipirasi dari salah satu nama kue: lopis.

Ck, aku sudah protes dulu sewaktu pemberian mama Lo, tetapi baik papa maupun mama tetap kekeh. Aku yang anak kecil bisa apa? Karena di mata orang dewasa, anak kecil jelas nggak tahu apa-apa. Tugasnya cuma diam, ngikut. Selesai.

Papa lagi makin aneh, dia malah mendukung mama karena dia juga menyukai kue itu. Dan, soal Cakrawala? Mamaku dulu sempat nge-fans dengan sang princess katulistiwa.

 [ NOVEL ] setelah dapat kerja, lalu apa? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang