13. | it's a mood, it's a vibe, it's a look, it's a match!

32.2K 5.4K 903
                                    

today's challenge: can you guess the tittle of this part bakalan untuk siapa? yihaaa!








"Bisa enggak sih kalau lagi sama aku hapenya disakuin aja? Atau minimal di-silent. Atau minimal juga si Azel itu jangan hubungin terus. Kamu bilang dia bukan siapa-siapa, tapi kayaknya intensitas hubungan kalian kenceng banget."

Bukannya menjawab, Hago malah membuka lock screen dan aku sempat mengintip pesan dari Azel 'tapi kapan?'. Dan seakan omonganku nggak berarti apa-apa, Hago dengan santai membalas pesan itu.

Aku memang nggak boleh berburuk sangka mengenai siapa Azel. Tapi, rasa-rasanya Hago makin keterlaluan dan sedikit ... berubah. Keras dan pemaksa memang sudah merupakan nama tengahnya, tetapi aku tahu itu dia lakukan agar aku selalu di dekatnya. Hal itu membuatnya merasa bahwa miliknya aman terkendali.

Sekarang, rasanya kayak nggak berjalan semestinya. Hago terkesan menyembunyikan sesuatu yang penting. Seharusnya, kalau memang Azel bukan siapa-siapa, dia nggak mungkin segetol ini untuk merahasiakan kan? Buka saja pesannya dan tunjukkan padaku, lalu setelah aku mengetahui kebenaran, dia hanya perlu memarahiku. Itu akan terdengar seperti Hago pada biasanya.

"Dia siapa? Azel itu siapa?"

"Harus berapa kali aku bilang, Azel bukan siapa-siapa."

"Kalau gitu telepon dia sekarang dan biarin aku ngomong sama dia. Padahal kamu cukup jawab dia temanmu, adikmu, kakakmu atau sepupumu. Itu lebih baik ketimbang jawaban bukan siapa-siapa karena sebelum jadi pacarmu, aku juga bukan siapa-siapamu."

"Pia ... jangan pancing aku buat marah."

"Marah aja. Kemarahanmu bukan sesuatu yang baru buat aku, Hago. Kamu tahu aku sayang kamu, aku belain kamu sampai akhir, aku berantem sama para abangku padahal kamu jelas tahu seberapa sayangnya aku sama mereka. Tapi kamu lebih penting."

"Jadi kamu nyesel belain aku ketimbang mereka?"

"Itu bukan poin dari omonganku!" Aku menatapnya tajam. Kenapa masalah nggak pernah ada habisnya, Tuhan! "Kamu cukup jawab siapa Azel."

"Aku bilang bukan siapa-siapa!"

"Kalau gitu aku mau liat apa aja yang kalian obrolin, apa itu susah?"

"Pia ...." Matanya memerah, rahangnya mengeras. Aku tahu dia sudah hampir ada di batas kesabaran. Biarkan saja. Kalaupun dia mau menyekikku, aku pasti akan menghantuinya dengan tragis. "Aku nggak pernah ngusik hapemu, sama sekali."

"Tapi kamu bisa maksa aku, sedangkan aku enggak."

"Aku pulang."

"Hago. Aku belum selesai ngomong!" Aku ikut berdiri, berusaha mengejarnya yang sudah berjalan cepat ke arah pintu. "Hago! Kamu taik!" Napasku rasanya mau melayang gabung sama udara.

Semuanya kacau banget sih, La!





***






"Ide kamu selalu keren, La. Uda bangga banget. Kadang manusia memang harus ngaku nggak sempurna ya soal rasa gini, nggak semua hal bisa di bawah kontrol kita kan?"

"Gue udah bilang itu ke dia kok."

"Ohya, Dhan? Tumbenan. Aku pikir responsmu cuma 'okay sip' waktu La selesai presentasi. Makanya, aku, Alan dan Aldi berusaha selalu verbalizing soal pujian, biar La semangat."

"Makasih banyak, Uda."

Aku melirik ke samping, abang dan kang Denny duduk berdua di sofa, tetapi sejak meeting ini dimulai, mereka berdua sama sekali belum mengeluarkan pendapat seperti biasa. Padahal, kang Denny yang biasanya paling gencar mengggodaku kalau apa yang kutulis merupakan pengalaman pribadi. Atau abang, yang akan bertepuk tangan lalu mengatakan akan menraktirku steak setengah matang.

 [ NOVEL ] setelah dapat kerja, lalu apa? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang