Part 16 - Gangguan Emosi

854 29 6
                                    

Terima Kasih bagi yang sudah vote dan komen...🙏🏻😊

Happy reading

Happy reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seminggu berselang, gue memutuskan untuk berobat ke ahlinya, yakni Psikolog. Gue pergi ke rumah sakit sendirian tanpa seorangpun keluarga atau teman-teman yang mengantar. Tentunya gue tidak mau ada seorang pun yang mengetahui kondisi psikologis gue saat ini. Bahkan untuk pergi berobat pun, gue selalu memakai masker dan kacamata untuk menutupi identitas. Gue takut mereka semua, entah itu pelayan rumah sakit atau pasien yang sedang berobat memandang gue aneh "cantik-cantik kok?"  Gue tidak ingin ada persepsi seperti itu di mata orang. Juga, gue ingin berjaga-jaga takut jika kebetulan bertemu dengan orang yang gue kenal.

Sesampainya di lobi rumah sakit, segera gue menuju bagian administrasi. Gue pun mulai mendaftar ke klinik psikologi. Namun sayangnya di rumah sakit tersebut, klinik psikologi khusus untuk anak-anak dan tidak ada untuk pasien dewasa dan malah diarahkan ke klinik psikiater. What's going on? Gue aneh sendiri sampai geleng-geleng kepala. Kok malah nyungseb ke klinik kejiwaan? Mental gue ini masih sehat, gue masih sadar masih punya otak untuk berpikir. Kok gue malah disuruh check-up ke psikiater? Is that something wrong?

Tapi setelah berpikir secara matang, gue akhirnya mencoba check-up dan berkonsultasi ke dokter kejiwaan yang ada disana. Ternyata selama ini gue salah pengertian tentang psikiater. Mereka juga sama seperti psikolog, bedanya psikiater itu melakukan tindakan medis, misalnya memberikan resep obat untuk pasiennya. Gue pun mulai menceritakan keluh-kesah yang selalu dialami, yang sangat mengganggu pikiran gue. Dan sangat tidak menyangka jika kondisi psikologis gue sekarang lumayan parah dari dugaan sebelumnya. Shock dan masih tidak menyangka mengapa bisa, kondisi gue sampai separah ini? Dokter bilang jika saat ini gue sedang mengalami gangguan emosi. Sontak langsung membuat gue kaget.

Separah itukah gue?

Dalam bentuk fisik, gue ini sehat. Tapi secara kasat mata, gue ini sedang sakit.

"Berarti saya bipolar dong Dok?"Gue masih tak percaya berharap ini salah diagnosa.

"Bukan, gangguan emosi itu kan banyak kategorinya. Saya perhatikan dan anilisis berdasarkan pengalaman dan perasaan yang kamu alami itu baru tahap awal. Tapi tetap harus ada penanganan khusus karena kondisi terpuruk yang kamu idap itu sudah terlalu lama."

Dan dugaan gue terkena PTSD itu dirasa dokter bukan tapi lebih kepada emosi yang sudah lama terpendam dan tidak dikeluarkan. Jika ini terus dipendam semakin lama maka akan semakin menumpuk seperti ketika kita meniup balon semakin kita meniupkan udara ke dalamnya, maka balon itu akan semakin membesar dan akan meletus atau meledak. Begitupun dengan kondisi yang gue alami jika terus dipendam dan tidak diluapkan atau dikeluarkan maka akan membuat kondisi gue parah menuju depresi.

"Terus gimana Dok, saya gak mau dianggap gila," gue menangis sejadinya. Sangat speechless dengan vonis dari dokter tersebut.

"Siapa yang bilang kamu gila, Chika? Kalo orang gila itu gak akan sadar, kamu masih bisa tampil modis dan cantik begitu. Berarti otak kamu masih jalan, masih sehat. Tadi kamu bilang juga gak ada pikiran buat bunuh diri? Berarti kondisi kamu belum parah. Justru kamu beruntung bisa menyadarinya dan bertindak cepat. Kalo kamu telat mungkin bisa bertambah parah menuju tahap depresi. Kamu bisa sembuh dan normal lagi asalkan kamu rajin datang ke sini dan nuruti saran-saran saya."

Gue diam bergeming, mencoba untuk mempercayai penuturan dokter itu. Untung saja dokter kejiwaan yang menangani gue ini orangnya humble, friendly dan easy going sehingga gue tidak merasa sedang berobat tetapi lebih seperti curhat kepada teman yang gue percaya. Kemudian dokter itu pun memberikan gue resep obat yang wajib gue minum sampai habis. Gue juga tiap hari Kamis sesuai yang dijadwalkan harus rutin melakukan check-up dan terapi ke dokter itu lagi. Gue takut semua orang tahu keadaan gue. Gue takut mereka menduga atau menganggap gue insane! Teman cerita gue saat ini cuma dokter kejiwaan di rumah sakit itu.

Kadang kala, gue sengaja datang ke rumah sakit hanya untuk curhat saja. Saking gue tidak memiliki teman yang bisa gue percaya untuk berbagi cerita. Untunglah, dokter itu baik dan selalu menyempatkan waktunya. Apapun diagnosa dari dokter, gue harus sembuh dan gue ingin belenggu yang ada di hati ini, yakni tentang Dimian ini bisa segera hilang.

Dokter pun menyarankan gue untuk mengatur pola tidur, mengubah gaya hidup menjadi sehat dan olahraga. Padahal gue sudah mencoba semua saran dari dokter seperti meminum obat secara teratur. Mengapa ini? Ada apa dengan gue? Selalu setiap pukul tengah malam gue malah semakin melek, semakin gelisah dan otak secara aktif memutar ulang penyesalan dan hal-hal memalukan yang pernah gue alami. Hingga membuat gue selalu terjaga. Gue ingin segera tidur. Badan ini sudah lelah dan butuh istirahat, tapi mengapa gue sulit untuk mengantuk? Gue merasa tertekan dan sedih di saat kondisi seperti ini. Gue ingin sekali dapat tidur normal seperti orang lain. Tahu begitu gue semestinya konsultasi dari dulu pada dokter. Mungkin kondisi gue tidak akan separah ini.

***

Memang benar sekali, jika kita bercerita kepada orang yang ahlinya maka akan mendapatkan solusi. Dari dulu gue kotar-katir curhat ke orang-orang sekitar yang gue percayai. Namun hasilnya selalu sia-sia, mereka malah menganggap gue aneh. Kecuali sahabat gue waktu kuliah seperti Natali dan Rosi. Gue hanya bisa berdoa semoga gue bisa sembuh dan ceria lagi seperti dulu.

Apakah gue bisa bertemu dengan Dimian? Gue ingin teka-teki masa lalu ini segera terpecahkan dan terselesaikan supaya tidak terbawa-bawa ke masa depan. Gue sudah move on dari Rigan tapi hati ini malah sakit lagi karena mengingat Dimian. Gue tidak bisa berhenti untuk memikirkannya. Dan sungguh ini sangat mengganggu dan menyiksa. Gue ingin fokus pada diri gue yang sekarang tetapi tetap tidak bisa. Ingatan masa lalu itu terus saja dating mengganggu. Gue sudah mengetahui dan berhasil menemukan keberadaan Dimian.

Ternyata dia bekerja di salah satu perusahaan milik pemerintah. Gue sudah tahu dimana alamat kantornya. Tapi sayang, gue tidak bisa masuk atau mendobrak ataupun mencari keberadaannya pada orang-orang yang bekerja disana. Gue tidak sedangkal itu. Lalu gue harus meminta tolong pada siapa? Gue sangat ingin bertemu tetapi tidak kenalan yang bekerja disana. Gue ingin segera bertemu dengan Dimian.

***

Dan ini mungkin sudah deadline terkait perkembangan psikologis gue. Apakah membaik atau memburuk? Ya, ternyata malah semakin memburuk. Malam kemarin saja gue sampai gelisah saking terganggunya dengan kejadian-kejadian di masa lalu. Gue sampai terpaksa meminum obat dari dokter kejiwaan yang sudah lama tidak dikonsumsi. Karena gue merasa baik-baik saja tanpa meminum obat itu. Kecuali untuk malam ini, gue harus meminum obatnya lagi karena sudah merasa tidak kuat menahan rasa sakit ini.

Gue sepertinya harus segera pergi konsultasi lagi. Minimal, gue curhat dan meluapkan unek-unek ini. Minimal, hal-hal yang menganggu di pikiran ini sudah gue ceritakan pada orang yang gue percaya, yaitu psikiater. Karena sampai saat ini, gue masih trauma sekali untuk curhat pada orang lain. Gue tidak ingin dianggap aneh. Dan gue tidak ingin capek-capek bercerita tetapi ending-nya malah berujung sia-sia, menelan kembali ucapan gue.

Bandung 25, Mei 2019

Sampai jumpa di part berikutnya ya..💃🏼

COUPLE (Already Published)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang