Part 9

106 9 0
                                    

Hari demi hari, minggu demi minggu berlalu, namun papa Meira tak kunjung bangun dari komanya. Kata dokter kondisinya belum ada kemajuan. Betapa kacaunya Meira saat ini, tiap hari sepulang sekolah ia ke rumah sakit berharap papanya bangun, namun lagi-lagi hasilnya nihil. Meira takut,sangat takut . Jika papanya suatu waktu akan meninggalkannya dan mamanya, Meira tidak siap kehilangan papanya.

Kini Meira duduk sendiri di taman sekolah, disana sepi, hanya ada beberapa siswa siswi disana, sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Rata-rata dari mereka, duduk bersandar di bawah pohon sambil mendengarkan musik lewat earphone.

Meira duduk bersandar di salah satu pohon yang rindang. Matanya memandang kosong ke depan. Kini ia tak bersemangat untuk sekolah, fikirannya terus dihantui rasa takut akan keadaan papanya.

Tes...
Tak terasa air matanya jatuh, "Meira rindu papa," batinnya. Meira tak tahan lagi, dadanya sesak, kini ia tak bisa apa-apa, hanya mampu berdoa semoga sang papa cepat siuman. Beberapa menit setelah puas menangis, Meira menghapus air matanya, ia belum ingin beranjak dari sana. Meira memejamkan matanya menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.

"Cepat pesenin Yon! Bakso aja dua mangkok, lo sama dia terserah." suruh Alea ke Deon

"Gue pangsit, Yon." Ucap Didit. Deon memutar bola matanya malas, kenapa seakan-akan ia menjadi babu disini?

Kini mereka bertiga berada di kantin, karena menurut ceramah Didit, Deon harus minta maaf ke Alea biar gak disiksa lagi, dan Alea minta ditraktir baru mau memaafkan Deon. Didit juga mau ditraktir. Katanya, itu ide cemerlangnya dia, jadi harus ditraktir juga.

"Apaan lo dua mangkok, makan banyak tapi gak gede-gede. Satu aja!" Alea mendengus kesal.

"Bukan buat gue semua kali. Satunya buat Meira,"

"Lah Meiranya mana? Gak ada disini juga orangnya," sahut Didit yang diangguki Deon.

"Paling tadi ke toilet atau kemana kek. Gue mau cari Meira dulu, udah lo pesan sana!" Meira mendorong bahu Deon dan berjalan keluar kantin.

Deon memandang ke arah antrian kantin yang lumayan panjang. Sedangkan Didit dengan santainya duduk sambil main game online. Dengan malas Deon mengantri sambil terus mengomel. Sehingga kini Deon menjadi pusat perhatian siswi-siswi disana, ada yang memekik senang, ada yang salting saat tak sengaja ditatap Deon, dan pura-pura cuek dengan keberadaan Deon.

Deon menghela nafasnya, selama sekolah di SMA Paffela ini pertama kali dia mengantri, paling dia nyuruh orang,beres. "Kan kalo gini ribet, awas lo Lea," batin Deon dengan dendam kesumat yang dituju ke arah Alea.

"Meira kemana sih? Di toilet gak ada, perpustakaan gak ada, ruang guru, ruang BK, lab, lapangan kelas gak ada juga. Kemana ya dia?" Alea bermonolog sambil mencari Meira.

"Eh liat Meira gak?" Tanyanya lagi ke salah satu teman perempuannya dan lagi-lagi dia menggeleng. Sudah 5 orang teman yang Alea yakin mereka kenal dengan Meira tapi tak ada satupun yang tau.

"Ah ada satu tempat lagi!" Alea bergegas berjalan menuju tempat tersebut.

"Tuh kan dia disana." Alea melangkahkan kakinya menuju Meira.

"Hei, Mei!" Alea menepuk bahu Meira membuat Meira membuka matanya.

"Lo ngapain disini? Itu mata lo sembab. Lo habis nangis?" tanya Alea, panik melihat sahabatnya.

"Engg-nggak kok, cuma ngadem aja disini" jawab Meira dengan suara seraknya.

"Suara lo serak. Lo habis nangis kan? Ada apa? Coba cerita." Meira menunduk membuat Alea menatapnya bingung

"Gue cuma kangen papa aja." Alea mengangguk paham dan mengusap bahu Meira.

"Sabar ya, semoga papa lo cepat kembali. Ke kantin yuk! Deon traktir kita loh!"

"Dalam rangka apa? Tumben," tanya Meira

"Sebagai permintaan maafnya ke gue,"

"Kok gue juga ditraktir?"

"Kan gue yang nyuruh. Gak apalah Deon juga gak keberatan kok, yuk!" Alea menarik tangan Meira dan mereka pergi dari sana.

"Hai Mei, dari mana?" Sapa Didit saat mereka telah di kantin. Meira hanya tersenyum tipis ke arah Didit. Deon sedari tadi tersenyum ke arah Meira yang kini posisinya berhadapan dengan Meira, ia duduk di samping Didit.

Sedangkan Alea di samping Meira berhadapan dengan Didit. Senyum Deon semakin mengembang saat pandangan mereka bertemu, namun Deon sadar mata Meira seperti habis menangis. "Mei lo habis nangis? Woi Le lo apain Meira?" tuduhnya pada Alea.

"Gak gue apa-apain. Katanya dia kangen papanya,"

"Kirain lo gangguin anak orang, Le." goda Didit membuat Alea meninju tangannya yang ada di atas meja. Didit meringis sambil terkekeh.

Meira semakin menunduk, Deon memandang sendu ke arahnya. "Keadaan om gimana?" Tanya Deon. Meira menggeleng

"Belum ada perubahan," jawabnya sambil tersenyum kecut

"Sabar ya, lo yang kuat." Meira mengangguk kecil.

"Lo kenal papanya Meira, Yon? Wuih gerak cepat lo ternyata,"Didit heboh sendiri.

"Gak sengaja waktu di RS. Tapi gue belum pernah ngobrol sama bokapnya," jawab Deon lirih memandang iba ke arah Meira yang berusaha tersenyum.

"Emang papanya Meira sakit apa?" Tanya Alea.

"Kata Meira, papanya koma karena kecelakaan dan belum sadar sampai sekarang," jawab Deon tanpa sadar membuat Meira membulatkan matanya.

"Lo kok gak pernah cerita sama gue, Mei? Gue jadi sahabat lo merasa gak guna tau gak, gue gak bisa apa-apa disaat sahabat gue sedang rapuh. Tapi Deon yang bukan siapa-siapa lo tau itu," Alea tiba-tiba marah membuat Meira menatapnya nanar. Kini seisi kantin menatap ke arah meja mereka.

"Maafin gue Le, gue gak mau bagi beban gue ke siapapun. Tapi waktu itu gak sengaja gue ketemu Deon, disitu gue down banget, maka dari itu Deon nyuruh gue lupain semuanya biar gue lega," lirih Meira. Sungguh gadis itu hanya tidak ingin membebani temannya.

"Tapi gak gini juga, gue juga mau berguna buat lo, Mei. Udahlah, gue kecewa sama lo." Alea beranjak meninggalkan kantin disusul oleh Didit. Deon pindah ke samping Meira dan mengelus pundak Meira berusaha menenangkan.

"Ngapain lo pada liat kesini? Mau gue congkel mata lo satu-satu?" Ujar Deon menatap mereka sarkastik membuat seisi kantin mengalihkan pandangannya.

"Sttt udah ya, mungkin Alea lagi emosi aja. Dan maafin gue tadi tiba-tiba ngomong kondisi papa lo ke mereka," ujarnya menenangkan.

"Gak papa, cepat atau lambat dia akan tahu." Deon mengangguk dan terus berusaha menenangkan Meira.

"Lo gak seharusnya gitu Le, gak semua masalah bisa dibagi ke siapapun," ucap Didit, kini mereka duduk di bangku depan kelas.

"Apaan sih lo. Ngapain ngikutin gue kesini?"

"Gue mau kasih tau aja kalau sikap lo tadi salah. Sebagai sahabat lo harusnya bisa ngerti, dan kasih dia support. bukannya marah-marah dan buat dia tambah down," nasihat Didit bijak.

"Apa gue harus ngerti, sedangkan dia lebih percaya sama Deon?"

"Itu karena Deon gak sengaja tahu duluan. Kalau waktu itu lo yang ada di posisinya Deon, lo pasti akan ngerti, Le. Meira butuh support, dan kebetulan Deon datang buat bantu dia bangkit,dan nguatin dia." Alea terdiam

"Lo gak boleh egois. Lo juga harusnya nguatin dia, dan minta maaf soal yang tadi," lanjut Didit.

"Gue butuh waktu." Didit mengangguk paham

"Hmm, Dit."

"Ya?"

"Makasih karena udah nasehatin gue," ucap Alea tulus. Didit tersenyum dan mengangguk.

"Masuk yuk!" Ajak Didit yang diangguki Alea. Mereka pun bangkit kemudian masuk ke dalam kelas.

IntroGirl & EkstroBoy✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang