PROLOG

18.1K 307 5
                                    

-AWAL SEBUAH SKETSA-

"Hujan menerjang di kala nisan itu ada di hadapanku. Di sisinya berdiri seorang tertunduk, menyembunyikan diri di balik payung hitam. Namun hujan bisa menembusnya, demi diriku." ~Marie

Suatu malam nan panjang, hujan lebat mengantar sebuah cerita. Seorang wanita paruh baya menyusuri trotoar sepi ini dengan cepat. Payung kuningnya berada pada genggaman erat tangannya. Sepatunya telah seluruhnya basah, bahunya yang tertutup oleh sebuah mantel masih saja terciprat oleh air hujan. Sesekali dirinya menggeram kesal pada hujan malam ini. Lalu dirinya segera menuju tempat penyeberangan jalan.

Lampu bagi penyeberang masih saja menyala merah. Sepatu dientak-entakkannya berulang kali di jalan. Pandangannya beralih pada seorang pria di seberang yang akan menyeberangi jalan yang sama ini. Pria itu mengangkat tangannya. Seketika itu juga pandangan wanita itu ke atas. Lampu hijau didapatinya. Langkahnya bergegas untuk menyeberang jalan ini.

Pria di seberang jalan itu tak lagi ada di arah pandangnya, hujan telah menghalangi pandangannya. Wanita itu terpogoh-pogoh berjalan menerjang hujan untuk menyeberangi jalan ini dan segera pulang. Belum sempat langkahnya tiba di seberang jalan, sebuah decitan hebat terdengar.

Semua arah pandang mata menatapnya, tanpa bisa mencegah atau menghentikannya. Bahkan waktu pun tak akan berani melihat dan menghentikan ini. Wanita itu tertoleh begitu melihat sorotan lampu sebuah mobil melaju dengan cepat ke arahnya. Dirinya tak sanggup bergerak karena takut, bibirnya setengah terbuka dan bergetar ingin berteriak, namun lidahnya terasa kelu. Lalu, sebuah hantaman keras terdengar ke segala arah. Mobil itu dengan mulus mampu menghantam tubuh wanita itu dengan cepat. Hingga wanita itu tergeletak di jalanan, hingga matanya mulai perlahan terpejam.

Payung kuningnya terlempar ke badan jalan, tepat di depan seorang pria yang tengah berlindung di bawah payung hitamnya. Payung kuningnya telah menjadi sebuah saksi akan kejadian ini. Hingga deru hujan semakin keras menyuarakannya. Namun yang didapatinya sekarang, lampu bagi pejalan kaki tadi masih merah, dan beberapa detik kemudian lampu itu menjadi hijau. Seorang telah menyeret wanita itu untuk ikut bersamanya, dalam sebuah jebakan.

Di saat gelapnya malam menelan sang surya untuk beristirahat menghangatkan bumi. Suara deru mobil dan kendaraan di jalan ini menggantikan sesuatu yang kusebut sibuk. Mereka berjalan tanpa pernah beralih pada gelapnya jalanan. Memecah dan menyoroti gelapnya malam ini hanya dengan sebuah sorot sinar yang menyilaukan.

Langkahku berbaur pada orang-orang kota di trotoar lenggang ini. Remangnya lampu jalanan menjadi satu-satunya penerang pada malam panjang ini. Awan kelabu menggantung bebas membawa akibat, menghalau terangnya sinar rembulan bersama kawanan bintang.

Pandanganku turun untuk melihat sisi jalanan yang dipenuhi toko-toko dan kedai-kadai hampir di sepanjang tepi trotoar. Beberapa orang memilih terduduk di terasnya menikmati ramainya malam. Di tengah pusat kota ini, aku merasa kesepian. Seseorang menabrak bahuku dengan segera, membuatku tersadar dari lamunan.

Seorang pengemis jalanan memainkan gitarnya, sambil sesekali dirinya ikut bernyanyi. Beberapa orang yang melintasinya melemparkan beberapa uang koin ke arahnya. Lalu tiba-tiba seorang pria berlari ke arahnya, menghentikan pekerjaannya sejenak.

"Kami membutuhkan penyanyi untuk kafe kami. Apa anda bersedia?" tawarannya sambil menunjuk kafe di belakang mereka.

Pengemis itu mengangguk dengan cepat sambil segera membereskan uangnya yang tersebar di jalan dan menenteng gitarnya. Lalu, dirinya segera berjalan memasuki kafe itu. Perasaanku kembali sepi. Segera kuikuti langkah mereka memasuki kafe itu.

Suasana ramai terdapat pada setiap sudut. Warna merah mendominasi kafe modern ini, lampu remang keemasan menerangi setiap tempat yang kutelusuri. Langkahku tertuju pada sebuah kursi kosong di dekat jendela. Kududukkan diriku di sana.

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang