----------
“Hujan lagi. Bagaimana ibu bisa keluar rumah siang ini?” Langkahnya dimulai oleh sebuah keraguan begitu dirinya menatap hujan yang turun. Namun, sebuah payung kuning yang terbuka di tangannya membuatnya ingin tetap melangkah. Aku segera berbalik dan meringkukkan tubuhku di balik selimut.
Namun, sebuah kebodohan terjadi padaku. Itulah terakhir kali aku akan melihat dan mendengar suaranya. Aku memulai sebuah kebodohan dan penyesalan. Aku memulainya dengan sebuah kebencian dan ketidaktahuan. Namun, itulah yang kukenang selama ini.
Pandanganku menatap kawanan angsa di tepian danau tenang di seberang sana. Satu per satu mereka beterbangan meninggalkan tepian danau, melintasi langit lalu hilang dalam pandanganku. Senja ini membuatku ingin melangkah menyusuri kota.
“Kau mau pergi ke mana?” tanya ayahku begitu aku melintas di hadapannya yang tengah terduduk di kursi ruang tamu sambil sesekali menyesap kopinya dan mengangkat koran di tangannya.
“Aku ingin jalan-jalan ke kota. Sudah lama aku melupakan sebuah malam.”
“Atau mungkin sebuah kekelaman.”
Langkahku meninggalkan rumah dengan rasa yang masih tertinggal di sana. Tanganku merapatkan mantel yang membalut tubuhku. Mantel yang mampu menghalau dingin yang mulai merajai malam. Awan kelabu menaungi langit malam ini, membuat perasaanku menjadi harap-harap cemas akan turunnya hujan.
Tak perlu waktu lama lagi untuk pasir dalam jam pasirnya itu untuk turun dan menggenapi waktu 3 hari. Beberapa jam lagi waktu itu akan selesai dan habis. Matanya menatap lurus padanya, namun perlahan air matanya menetes. Wajahnya menunjukkan sebuah kesedihan. Dan perlahan pula dirinya bangkit dari duduknya untuk menyusuri sebuah jalan.
Langkahku tertuju pada kafe di seberang jalan sana. Lampu remang di terasnya menjadi satu-satunya penerang. Kepalaku melongok ke dalamnya melalui jendela luarnya. Suasana gelap kudapati begitu aku melihat ke dalam. Kafe ini tutup lebih awal di tengah malam yang tengah disibukkan dunia.
Segera sepasang kakiku menuntun langkahku untuk menelusuri trotoar lengang malam ini. Jalanan penuh sesak dipadati oleh kendaraan, berlomba mengejar lampu hijau pada persimpangan jalan. Sibuknya jalanan menjadi atmosfer sebuah malam kelam dan suram ini. Langkahku menyisir padatnya dengan bermalas-malasan.
Pandanganku tertoleh untuk menelusuri ke jajaran kedai dan kafe yang tengah ramai di sisiku. Semua sibuk di kala diriku masih bingung untuk berbuat. Tanpa sadar lamunanku membuat seseorang berhasil menghantam bahuku. Aku segera tersadar dari sebuah lamunan.
Sebuah suara uang koin yang tengah menggelinding di hadapanku membuatku segera beralih padanya. Pandanganku segera naik untuk memandang sesuatu yang tengah di hadapanku.
Seorang pria bertopi hitam dengan gitar terpangku di tangannya kudapati. Beberapa orang mengerumuninya untuk melihat dirinya yang bernyanyi. Aku menyimaknya sesaat, dan baru kusadari dirinya seorang pengemis jalanan.
Seorang turis wanita mengangkat kamera sakunya untuk mengabadikan sebuah gambar pengemis jalanan itu. Dirinya tersenyum puas melihat hasil bidikannya itu lalu mulai berjalan meninggalkannya. Dan seorang anak perempuan berlari ke arah pengemis itu berdiri, tangannya terulur dan melemparkan beberapa uang koin ke hadapannya.
“Terima kasih..” ujarnya ramah sambil tersenyum pada gadis kecil itu yang mulai berlari kecil meninggalkannya, lalu dirinya mulai melanjutkan nyanyiannya.
Tak lama seseorang berseragam pelayan keluar dari kafe tempat bekerjanya yang berada di jajaran kedai di sisiku, dirinya berlari terpogoh-pogoh menghampiri pengemis jalanan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Rindu untuk Hujan
Ficción GeneralKisah semusim lalu terajut dalam sebuah kenangan Sesosok malaikat hadir mengantar cerita untukku Di sudut bersejarah sebuah kota, terkuak sebuah tanda Payung kuning di tanganku tertutup, berganti menjadi kematian Hujan melengkapi segala cerita yang...