“Bajunya terpahat rapat oleh jarum-jarum hujan hingga warnanya ingin berubah menjadi tua. Namun, tanpa sadar dirinya terpagut.” ~ Reyn
Perlahan tangannya terangkat merengkuh tubuhku. Perlahan pula hembusan angin ini menderitkan jembatan kayu rapuh ini, namun di sisinya kereta uap di atas jembatan batu itu mampu menderukan suaranya menyapa jembatan kayu ini.
Suara gemuruh hujan mulai terdengar, membangunkan sebuah mimpi panjang semalam. Butuh waktu lama untukku mengerjap, apakah ini masih dalam mimpi. Mimpi indah.
Langkahku terseret membuka sebuah ruangan. Kau seolah ‘kan mengerti. Tak ada lubang angin di dalamnya, di ruang terkunci ini. Seberkas bunga plastik di atas mejanya, cangkir kopi kosong, dan sebuah buku terbuka. Yang pada halaman pertama terdapat catatan kaki itu. Sebelum seseorang membuka pintu itu dengan cepat, aku terperanjat di dalamnya.
“Apa yang kau lakukan?” kejutnya.
“Aku mencari ayah. Tapi rupanya ayah tak ada di sini.”
“Keluarlah..” suruh ayahku cepat.
Langkahku terseret keluar dengan kepalaku yang terus saja tertunduk. Ayahku hanya bisa mendecak kesal begitu aku melintas di hadapannya.
“Maafkan aku..” ujarku lirih.
Langkahku hanya berlalu meninggalkan rumah. Dan berhenti begitu saja di ujung jembatan kayu ini—belum sempat mulai menyeberang. Mataku menangkap sosok itu. Matanya sejurus ke depan. Payung kelabunya terbuka untuk melindungi tubuhnya. Hujan. Akhirnya langkahku memulai, melewati dirinya yang sengaja kuabaikan.
“15 hari lagi, kau akan berjalan ke arahku..” bisiknya begitu aku melewati punggungnya begitu saja.
Langkahku terhenti dan segera kepalaku tertoleh ke arahnya. Entah sesuatu ingin memaksaku untuk melakukan ini. Dirinya segera berbalik menatapku yang masih saja menatapnya. Bibirku setengah terbuka ingin mengatakan sesuatu, namun hujan membuatku untuk menundanya. Segera langkahku ingin memulai lagi setelah melihat wajahnya yang menatapku.
Tangannya dengan sigap terangkat mencengkeram lenganku dengan kuat. Dirinya menarik lembut lenganku untuk segera berhenti dan berbalik ke arahnya.
“Derryl..” panggilku lirih.
Dirinya hanya tersenyum, lalu merapatkan tubuhnya untuk melindungi tubuhku bersama dirinya di bawah payung kelabunya.
“Akhirnya aku mendengar kau memanggil namaku.” ujarnya bergetar.
Sejenak aku menatap dirinya, lalu segera pandanganku beralih.
“Aku harus pergi..” balasku.
“Dengan mantelmu saat hujan ini. Biar kutanyakan, di mana payungmu?”
“Dirinya menolak untuk kugunakan dan sekarang rusak.” jawabku akhirnya.
“Biar aku ikut denganmu.”
Segera dirinya melangkah menyusuri jembatan ini, dengan lembut memerangkap tanganku dengan jemarinya.
“Apa yang kau lakukan?” geramku padanya.
“Aku mengantarmu. Bukankah ini tidak masalah jika kau mencintaiku dan aku mencintaimu.”
Segera langkahku terhenti di ujung jembatan, mataku menatap dirinya. Dirinya pun sama mengikutiku.
“Lalu? Apa kau pantas untukku?” geramku akhirnya.
Dirinya mulai melepaskan genggamannya pada tanganku. Dirinya memalingkan wajahnya sejenak, tak berani menatapku apalagi untuknya menjawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Rindu untuk Hujan
General FictionKisah semusim lalu terajut dalam sebuah kenangan Sesosok malaikat hadir mengantar cerita untukku Di sudut bersejarah sebuah kota, terkuak sebuah tanda Payung kuning di tanganku tertutup, berganti menjadi kematian Hujan melengkapi segala cerita yang...