“Kapan aku akan bertemu dengannya lagi? Aku merindukan hujan, aku merindukan dirinya. Memang siapa dirinya yang membuatku bisa seperti ini? Kujawab, dialah malaikat hujanku.” ~ Marie
Aku merasa diriku cukup berani, mungkin juga lebih takut dari sebelumnya. Aku berhadapan dengannya sekarang. Mungkin aku malas untuk membuka payungku, tapi aku mencoba untuk berhadapan dengannya. Ternyata ibuku ingin aku mengenangnya bersama hujan, bukan membenci hujan karena ibuku. Benar, itulah pesan malaikat hujanku. Malaikat yang kutunggu saat ini.
Aku berdiri dengan gemetar menahan dingin ini, semua kulakukan hanya deminya. Berjam-jam berlalu, namun aku tak mendapati dirinya di tempat kami pertama kali bertemu, saat aku mengenalnya untuk pertama kalinya. Berulang kali aku menunggunya untuk mendapati payungku kembali, dan ternyata aku kembali mendapati payungku darinya, itu adalah kisahku dulu.
Aku mulai melangkahkan kakiku meninggalkan tempat ini, membuka payung kuningku dan berjalan menerobos hujan. Memang aku tak berurusan dengannya lagi, tapi aku merindukan ibuku dalam dirinya. Aku berjalan menuju rumah. Menaiki tangga terakhir teras rumahku dan memastikan tubuhku baik-baik saja di depan Bibi Sarrah nanti. Bibiku membukakan pintu untukku, dan menerima payung dari tanganku.
“Kau kehujanan hari ini, apa semua baik-baik saja?” pertanyaan Bibi Sarrah pertama kali yang mencoba menerawang diriku.
“Ya, aku merasa lebih baik dari kemarin.”
Lebih baik dari saat terakhir kali aku melihat malaikatku, lebih baik dari saat aku mendapati payungku kembali. Aku seakan menunggu untuk waktu yang tepat, kembali untuk mengenang.
Keesokan harinya, aku berdiri di dekat jendela. Melihat awan kelabu menggantung melalui celah jendela kamarku. Dan tetes hujan pertama menyentuh kaca jendelaku. Disusul oleh berikutnya, membasahi setiap sudut bingkai jendela ini. Aku tersenyum, ibuku menyapaku lewat tetes-tetes hujan pagi ini.
“Marie..” teriak bibiku pagi ini, membangunkan lamunanku.
Aku merapikan seragam yang kukenakan, lalu kulihat segelas susu yang sudah disiapkan bibiku di atas meja makan.
“Dimana dirinya? Terakhir kali dia memanggilku.” batinku, kebingungan.
Aku duduk di kursi makan, meneguk cepat susu itu. Hingga terdengar suara mengejutkanku.
“Kau melupakan suatu benda, Marie.” kejut bibiku.
Aku hanya bergumam penasaran. Bibiku meletakkan payung kuningku yang sudah kering dan terlipat rapi di hadapanku.
“Aku hampir saja melupakannya. Terima kasih.” sahutku, lalu langsung mengambil payung itu dan berangkat sekolah.
“…Percayalah pada hujan, jangan satukan mereka dengan perpisahan.” suaranya menggema dalam benak dan batinku. Dan kembali kuteringat dirinya.
Aku tiba di depan gerbang sekolahku. Namun apa yang kembali kupikirkan saat ini, dia melintasi jalanku. Aku melihat punggung itu menjauh di bawah payung kelabu.
Aku mendesis kesal, bingung apa yang harus kulakukan. Aku menemukan dirinya, malaikat hujanku. Namun seseorang memanggilku dari arah lain. Dan aku terpaksa menoleh, melihat asal suara itu.
“Edlyn..”
“Cepat masuk, 5 menit lagi pelajaran akan dimulai.”
“Tapi aku harus—” sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Edlyn segera menarik tanganku.
“Kau mau melamunkan hujan di depan gerbang sekolah dan tidak mengikuti kelas, begitu yang harus kau lakukan?” balas Edlyn dengan kesalnya.
Aku hanya pasrah. Memikirkan malaikat itu kembali tampak di bumi ini. Hingga kelas usai hari ini, aku berdiri di depan sekolah sambil berlindung dari hujan siang ini dengan payung kuningku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Rindu untuk Hujan
General FictionKisah semusim lalu terajut dalam sebuah kenangan Sesosok malaikat hadir mengantar cerita untukku Di sudut bersejarah sebuah kota, terkuak sebuah tanda Payung kuning di tanganku tertutup, berganti menjadi kematian Hujan melengkapi segala cerita yang...