“Kau kembali untuk pergi, ataukah aku yang pergi untuk kembali? Tak ada lagi mengenang, karena kau sudah menjadi sudut teramai di benakku. Saat kuteringat bahwa kau adalah payung kuningku.” ~ Marie
Butuh waktuku untuk mengerjap beberapa kali. Aku sedang tak ada di kamar, menyadari bahwa diriku tengah berada di ruang yang lain. Sepi, tenang, dan hening menyelimuti. Namun, kehangatan jauh lebih nikmat. Kursi kayu tua teronggok di sudut yang penuh dan sesak ini. Kursi yang paling nyaman yang pernah kududuki.
Aroma kopi hitam menguar menusuk indra penciumanku. Khas dengan suasana pagi ini. Jam di dinding tepat di atas pintu kamar ini. Pagi pertamaku.
Kulangkahkan kakiku melewati ambang pintu yang segera kubuka. Menelusuri setiap sudut mencari sosok yang tengah ada di benakku saat ini.
Berjalan menuju dapur yang sepi dan lebih terkesan berantakan, tak kunjung aku mendapati sosok itu. Lalu langkahku menuju teras kotor di samping rumah. Aku yakin dirinya di sana. Tepat.
Aku berdiri di samping kursi kayu, di teras. Menunggu dirinya menyadari. Kopi hitamnya diletakkannya di atas meja bundar kayu di depan kursi panjang itu. Tangannya terangkat ke atas menggenggam koran yang tengah terbuka untuk dibacanya.
Kuputuskan untuk mengeluarkan dirinya dari dunianya sendiri. Hingga segera kududukan diriku di sampingnya.
“Kau sudah bangun, Marie?” tanyanya tanpa berpaling dari korannya.
“Apa berita terpenting hari ini?” tanyaku akhirnya.
“Ayah hanya melihat bencana di mana-mana. Walaupun ini sudah di akhir penghujung musim, ini sama seperti musim lalu.” jawabnya sambil melipat korannya dan memangku koran itu di atas kakinya.
Wajahnya berpaling sejenak kepadaku, senyum tipis tersungging di bibirnya. Kutelusuri lagi setiap kerut di wajah tuanya. Dirinya masih sama seperti dulu, sama seperti seseorang yang dulu pernah kupanggil ayah, dan kini pun masih sama. Walau rumah tangga ini runtuh hanya dalam semusim, dirinya masih sama.
Tangannya terangkat untuk menyesap kopinya kembali, dalam diam kulihat dirinya lega sekarang.
“Kenapa kemarin kau datang ke sini?” tanyanya tiba-tiba.
“Sekarang pun aku masih di sini.” sebersit rasa tertahan di dada.
“Apa ada sesuatu yang terjadi?” Itulah pertanyaan yang membuatku takut untuk menjelaskannya.
“Apa Bibi Sarrah masih tidur?” tanyaku menghindari percakapan tadi.
“Dia pergi ke pasar pagi-pagi sekali. Apa yang terjadi?”
Kini ayahku mulai memandangku, menatapku penuh selidik dan ingin tahu. Aku mencoba menghela napas panjang, menenangkan diriku ini.
“Setelah lulus, aku merasa kesepian, hanya itu. Temanku pergi meninggalkan kota bersama keluarganya di hari yang mendekati ujian. Kupikir itu sangatlah mendesak. Aku hanya ingin berlibur, dan mengunjungi ayah. Juga aku ingin menetap di sini.”
Kupaksakan diriku untuk tersenyum, walau berat untuk kulakukan sekarang ini. Tempat ini cerita bagi kedua orang tuaku, namun menjadi pelarianku saat ini. Meninggalkan sejenak kegundahan hatiku yang sekarang sepi, seakan gelap tanpa warna dan cerita untuk dijalani.
Kisah itu akan selalu terkenang walau aku mulai berhasil mengikhlaskan segalanya untuk pergi, ibuku dan orang yang aku cintai. Perasaanku pada hujan kembali seperti di awal kenangan, membenci.
Pikiranku berkelana, hingga kusadari ayahku mulai kembali ke dapur. Angin lembut namun nan menggigit menyergap begitu saja tanpa permisi, seakan diriku siap menerpanya. Aku terpaku merasakannya, aku terasa seperti berjalan pada sebuah memori yang disebut awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Rindu untuk Hujan
General FictionKisah semusim lalu terajut dalam sebuah kenangan Sesosok malaikat hadir mengantar cerita untukku Di sudut bersejarah sebuah kota, terkuak sebuah tanda Payung kuning di tanganku tertutup, berganti menjadi kematian Hujan melengkapi segala cerita yang...