CUKUP SATU KATA BERSAMA HUJAN

1.8K 42 0
                                    

“Lampu berpendar menggambarkan kehangatan di antara dirimu dan dirinya. Kehangatan dalam dinginnya beku, dalamnya hati. Menyelami pikiran satu sama lain, berbicara dalam kebisuan.” ~ Kyle

Namaku masih sama, diriku masih sama, dan keluargaku yan terisisa juga masih sama di saat aku kembali melihat hari baruku. Aku belum sempat menapaki setiap sudut yang terkenal di kota kecil nan sepi dan nyaman ini. Di sinilah, kuyakini dirinya tak pergi meninggalkanku, aku percaya.

Aku menyeret langkah kakiku untuk sejenak menemani ayahku untuk minum teh di pagi ini. Duduk menghadap danau alam kecil, merasakan gerimis yang menyambut lembut. Menyesap dalam-dalam setiap rasa yang tertuang dalam secangkir kehangatan di pagi ini.

“Sudah melihat apa saja di kota ini?” tanya ayahku tiba-tiba yang segera melipat korannya.

“Belum. Cuaca belum mendukung, mungkin lain kali jika sudah mendapat teman.”

“Berjalan-jalanlah melihat kota. Sudut kota menarik untuk dikunjungi. Cari informasi mengenai unitersitas yang kau inginkan, atau apa saja yang ingin kau lakukan untuk mengisi waktumu.”

Ayahku segera beranjak tanpa perlu mendengar pendapatku terlebih dulu, menenteng korannya dan meninggalkan cangkir kopinya tetap di atas meja. Berpendapat mungkin aku yang akan membawanya ke dapur.

Raungan mobilnya meninggalkan rumah, menggema di sepanjang jalan, menyisakan segaris jalan lembut berbekas jalur laju mobil. Sepi saat ini.

Langkahku kembali masuk ke dalam rumah. Mungkin benar kata ayahku untuk aku pergi melihat-lihat kota ini.

Aku segera mengenakan mantelku, yang tersampir di kursi kayu dalam kamar. Menenteng payung hitam yang sama seperti dulu, teronggok kesepian.

Begitu di depan rumah, segera kubuka payung ini. Menghalau hujan yang berani menghujamiku, itu yang hanya bisa dilakukannya. Langkahku berjalan, mungkin tanpa arah karena tanpa tujuan.

Yang kudapati hanya berbagai payung yang berbaur satu sama lain. Berjalan melewati mereka tanpa saling menggubris. Orang-orang kota yang begitu egois, sama seperti diriku.

Langkahku terhenti setelah memandang sebuah kafe kopi sepi di pinggir jalan. Dan kuputuskan untuk mampir dan minum sejenak. Payung kelabu terbuka teronggok di dekat pintu masuk, menarik perhatianku untuk sekedar mengunjunginya.

Begitu langkahku mendekat ke arah pintu itu aroma berbagai kopi menyergap begitu saja. Membuat pikiranku terus bertanya-tanya apakah itu benar payung kelabu milik Derryl.

Segera kuletakkan payung hitam ini di dekat pintu, bersama payung kelabu itu. Pintu kafe itu segera kubuka, menampilkan suasana hangat di pagi ini.

Mataku mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Namun, hasil yang kuperoleh nihil untuk menemukannya. Lalu kududukan diriku di kursi terdekat dengan pintu. Tak lama seorang pelayan datang menghampiri mejaku mencoba bersikap hangat di udara dingin ini.

“Ada yang ingin anda pesan, Nona?” tanyanya sambil menyodorkan sebuah menu di hadapanku.

“Mungkin salah satu kopi yang ada di sini.”

“Kami menyediakan berbagai jenis kopi dan berbagai minuman. Anda ingin mencoba yang mana?” tawarnya lagi.

“Aku ingin meminumnya, bukan men—” jawabku sedikit kesal, namun kalimatku menggantung begitu saja di udara.

Pelayan itu segera menundukkan kepalanya, lalu berbalik melangkah dan hilang terhalang oleh pintu dapur yang terletak di belakang bar kecil di sudut ruangan.

Aku benar-benar tak tahan melakukan ini, saat aku membuang tatapanku keluar aku melihat hujan berhenti untuk sesaat. Namun, langit mendung masih ingin menaungi. Aku ingin segera bangkit, dan melangkah pergi. Namun, pelayan itu kembali dengan membawa secangkir kopi ke arahku.

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang