“Lembar demi lembar terkumpul, sebelum hembusan angin kering menerbangkan semuanya. Lembaran sketsa hujan untuknya.” ~ Marie
Laju sepedanya melaju memecah sunyinya jalanan batu ini. Dari sayap-sayap burung kecil itu, suasana sepi di dapatinya, sepiku. Saat terhenti di sebuah taman kota ini. Daun jatuh di atas bangku bagaikan sebuah mimpinya.
Dirinya turun dari sepedanya, lalu berjalan menuntunnya ke dekat kursi. Sementara dirinya segera terebah di atas bangku kayu di taman ini. Sepatunya terketuk untuk menerbangkan dedaunan kering di dekat kakinya. Mulai beberapa waktu kemudian beberapa orang melintas di hadapannya. Dirinya hendak beranjak sebelum sebuah pekikan memanggil namanya.
“Reyn..” teriakku samar di kejauhan.
Kepalanya tertoleh ke segala sudut taman, mencari asal suaraku. Hingga langkahku mulai berlari kecil menghampirinya. Tepat di hadapannya angin lembut mulai menyisir dedaunan kering nan berguguran untuk berputar berkutat di jalanan taman.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Reyn sambil menunjukkan raut kesal di wajahnya.
Tanganku terulur ke arahnya untuk menyerahkan sebuah bingkisan berbungkuskan pita merah. Reyn menatapnya heran, yang masih saja dengan raut kesal di wajahnya.
“Terimalah ini, untukmu dan Fionagh. Anggap ini ungkapan maafku, aku sudah membuatmu kesal, maafkan aku. Tapi sebelumnya terima kasih kamu sudah peduli padanya. Aku berharap dia tak akan mengganggumu lagi.”
Sesaat dirinya menimbang-nimbang, lalu tiba-tiba sebuah senyuman tipis tersungging di sudut bibirnya.
“Aku terima ini darimu. Maaf aku harus pergi sekarang.” Segera Reyn beranjak pergi sambil menerima uluran bingkisanku itu.
Aku hanya bisa melihat punggungnya yang semakin menjauh di atas sepedanya itu. Jalannya memecah keringnya atmosfer udara dan juga kotornya jalanan batu di taman.
Dan lagi, secangkir teh dengan gula yang belum sepenuhnya larut menemaniku di senja ini. Tanganku bergerak dengan sendirinya mengikuti hatiku untuk menorehkan sebuah sketsa tentang hujan di atas kertas dalam pangkuanku.
Diletakkannya bingkisan pita merah itu di hadapan Fionagh. Setelah akhirnya Reyn terduduk di hadapannya, baru pikirannya bertanya-tanya. Sambil sesekali Fionagh memicingkan matanya sambil menatap Reyn penuh selidik.
“Kenapa kau hanya diam? Jangan bersikap begitu padaku.” geram Reyn melihat Fionagh yang kebingungan di hadapannya.
“Ini dari Marie. Bukalah..” Akhirnya Reyn memulai penjelasan.
“Aku tak sedang berulang tahun. Lalu ini untuk—”
“Apa harus menunggu hingga kau berulang tahun, hah?”
“Marie begitu perhatian pada kita. Apa ada sesuatu yang terjadi?” Fionagh mulai penasaran dan raut khawatir mendominasi di wajahnya.
Dengan cepat Reyn segera mengalihkan pandangannya untuk sejenak mencoba menjelaskan sesuatu pada Fionagh. Lalu dengan cepat pula Reyn enggan untuk mengatakan itu, dirinya segera menggelengkan kepalanya cepat.
“Baiklah..” Dengan cepat Fionagh mengangguk lega.
Tangannya terulur untuk menarik satu per satu pita merah yang melilit bingkisan di hadapannya. Tangannya terangkat untuk mengangkat sebuah mug di tangannya.
“Sepasang mug untuk kita. Bergambar hujan dan pelangi, bukankah ini lucu. Aku menyukainya.” jelas Fionagh sambil menampilkan binar pada kedua bola matanya.
“Fionagh..” panggil Reyn mencoba mengalihkan Fionagh.
Fionagh segera mendongakkan kepalanya untuk menatap Reyn yang tampak mulai serius untuk mengatakan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Rindu untuk Hujan
General FictionKisah semusim lalu terajut dalam sebuah kenangan Sesosok malaikat hadir mengantar cerita untukku Di sudut bersejarah sebuah kota, terkuak sebuah tanda Payung kuning di tanganku tertutup, berganti menjadi kematian Hujan melengkapi segala cerita yang...