NYANYIAN SUNYI MALAIKAT

958 26 1
                                    

“Hembusan lembut itu tak lagi terdengar, berganti sebuah sengal nada kesal. Di sisi jembatan rapuh ini aku menunggu kepulangannya dengan sebuah senandung kecil.” ~ Kyle

Pria paruh baya itu berulang kali mengusap-usap tangannya ke wajah kusutnya. Dirinya ketakutan begitu melihat putrinya pergi dan tak pulang. Dirinya mulai menegakkan tubuhnya yang tertidur di ruang kerja semalaman. Mimpi buruk itu menyadarkannya.

Langkahnya terseret menuju ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi hitamnya. Lalu mengangkat cangkir itu untuk dibawanya menuju beranda di samping—sendiri. Pandangannya tertuju pada sisi kirinya di bangku yang sama. Sepi di sana.

Lalu dirinya tertunduk, tangannya terangkat untuk menyembunyikan wajahnya. Bahunya berguncang pelan, lalu isaknya mulai terdengar. Sebuah ketukan pintu di rumah kayunya, membuatnya terseret untuk berjalan keluar.

Reyn tengah berdiri di hadapan pintu kayu itu. Tangannya mengetuk pintu di hadapannya berulang kali. Wajahnya tampak ragu untuk berkunjung sepagi ini. Kakinya di entakkan beberapa kali ke lantai kayu di teras depan rumah ini. Kepalanya tertunduk menunggu seseorang untuk membukakan pintu ini.

Seseorang memutar gagang pintu itu. Langkah Reyn mulai mundur satu langkah ke belakang untuk memberi jarak. Pria paruh baya itu hanya melongokan kepalanya untuk melihat tamu yang berkunjung saat ini.

“Maaf, saya sedang tidak ingin berurusan dengan polisi.” katanya sambil mencoba menutup pintu itu kembali.

Dengan sigap Reyn melangkah untuk menahan pintu itu untuk tidak tertutup dengan sekuat tenaganya.

“Saya bukan polisi. Saya datang sebagai temannya Marie.” balas Reyn dengan cepat. Lagi-lagi pria itu memalingkan wajahnya.

Beberapa saat kemudian dirinya terduduk di ruang tamu rumah kayu ini. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan ini. Dan dirinya tersadar dengan sebuah dehaman kencang dari pria paruh baya itu. Pria itu mulai meletakkan secangkir teh ke hadapan Reyn, dan secangkir kopi lagi untuk dirinya.

“Terima kasih..” kata Reyn sambil menunduk—menunjukkan rasa hormat.

“Apa maksud kedatanganmu?” tanya pria itu sambil menyesap cangkir kedua kopinya pagi ini.

“Marie dan Shannon sedang mengambil sebuah proyek kuliah ke pinggir kota. Saya tahu saya terlambat mengatakan pada anda, maafkan saya.”

“Saya adalah ayahnya. Mengapa saya tidak segera mengetahuinya? Saya khawatir dengannya akhir-akhir ini.” balas pria itu dengan suara yang mulai meninggi.

“Karena itu, saya ingin meminta maaf.”

“Kau tahu. Marie sedang dalam masa penyembuhan, dia tak seharusnya pergi terlalu jauh.” suaranya mulai meluruh.

“Penyembuhan?” tanya Reyn kebingungan.

Langkahku tersaruk-saruk. Pikiranku masih berkelana, hingga Shannon menarik tanganku dengan kuat membuatku terperanjat.

“Desanya sudah terlihat. Kita harus cepat.” gerutunya.

Sebuah susunan rumah dengan jalan setapak dari batu menjadi pandangan yang mendominasi di mataku. Sebuah bangunan putih menjulang di antara riuhnya pedesaan ini. Sebuah lonceng besar terletak di atapnya—sebuah kapel. Pandanganku beralih ke timur, kudapati derai ombak laut bergulung menuju ke pantai berpasir putih itu.

Sebuah dentang bel dari kapel itu mengantar beberapa penduduk untuk keluar dari rumah mereka untuk menapaki jalan setapak menuju ke kapel putih itu. Mataku hanya tak sanggup berkedip menikmati pemandangan yang kulihat, hening dan tenang. Hingga sentakkan dari Shannon membuatku kembali terkejut.

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang