“Seakan seorang yang tertinggal keretanya, dia berdiri kesepian di stasiun ramai ini. Mengharapkan sesosok lain untuk tetap di sisinya. Bersama cerahnya payung merah ini—kami mulai bercerita di musim panas.” ~ Shannon
Aku berulang kali meneguk tehku di pagi ini, tanganku berulang kali bergetar—cemas kurasakan saat ini. Ini merupakan tahun pertama untukku tanpa ibuku. Dan ayahku tengah bersiap untuk mengunjungi ibuku, aku ikut bersamanya. Tehku kini telah habis, dan ini saatnya kami berangkat menuju stasiun.
“Aku harus pergi ke luar kota untuk beberapa hari. Sepulangnya akan aku beri tahu.”
Setelah itu terdapat jeda sesaat, untukku mendengar jawaban dari seberang telepon.
“Hmm.. Terima kasih, Shannon.”
Pagi ini aku mencoba menghubungi Shannon untuk masalah kepergianku ini menggunakan telepon tua di rumah kayu ini. Shannon mengerti, dan mencoba membantu meredakan masalahku di sini—kesalahpahaman semua.
Kereta berangkat pagi ini, dan diperkirakan aku akan tiba siang ini. Semua akan baik-baik saja, Marie.
Kakiku mulai melangkah menyusuri stasiun, menyusuri gerbong-gerbong yang sepi bersama ayahku. Lalu, duduk dalam diam memandangi kesunyian. Hingga dehaman terdengar untuk membuatku menjadi lebih tenang.
Seseorang berdiri tegang di persimpangan jalan. Kakinya dientakkan berulang kali ke jalan, lalu dengusan kesal terdengar dan raut kecewa mendominasi di wajahnya. Lengan kemejanya basah oleh embun pagi ini, lalu embun napasnya berbaur bersama udara dingin ini. Hingga dirinya mulai berjalan pergi meninggalkan tempatnya berdiri.
“Apa kau melihat Marie?” teriaknya dengan panik begitu bertemu dengan Shannon.
“Apa yang kau inginkan dari Marie sekarang, Reyn?”
“Di mana Marie?” suaranya mulai tenang.
“Marie pergi ke luar kota untuk beberapa hari untuk menjenguk seseorang di sana.”
Shannon mulai melenggang pergi tanpa peduli pada reaksi Reyn atas perkataan tadi.
“Aku menyuruhmu untuk memilih. Aku menyuruhmu untuk memilih.” Kalimat itu terus terulang di benak Reyn—mencoba membuat dirinya memahami kalimat itu.
Kakiku mulai menginjak lantai stasiun di kotaku dulu. Ramai kudapati begitu aku tiba siang ini. Karangan bunga seruni yang kami beli di perjalanan sudah berada di genggaman erat tangan ayahku. Kudapati dirinya manatap lurus ke depan dengan mulut yang terus memilih untuk membungkam diam.
Langkah kami tiba di sebuah tempat pemakaman ini. Lalu langkah ini menuju di sebuah makam yang bernisankan nama ibuku. Rumput hijau masih tetap subur di atas tanahnya, namanya juga tetap masih sama, namun sebuah karangan bunga seruni segar lainnya tergeletak di dekat nisannya. Seseorang baru saja pergi meninggalkan makam ini.
“Sepertinya ada seseorang baru saja menjenguk ibumu.” kata ayahku parau sambil meletakkan karangan bunga seruni itu di dekat nisan ibuku.
“Elaine..” panggilnya yang mulai tertahan.
Aku ikut bersamanya, menepuk lembut bahunya dan memandangi nama ibuku di sana. Angin kering berhembus menyentil kulitku. Dan tampak bahwa tempat pemakaman di sini mulai tak terurus. Ibuku kesepian di sini—namun kutahu dirinya tenang sekarang.
“Kau tahu ibu, aku bersama ayah sekarang. Kau mengenalku lebih dari siapa pun yang mengenalku. Aku menyayangimu dan ayah. Kutahu ayah pun masih menyayangimu karenaku. Aku berharap ayah mampu menjadi ibu bagiku. Tolong doakan aku selalu, aku mendoakanmu..”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Rindu untuk Hujan
General FictionKisah semusim lalu terajut dalam sebuah kenangan Sesosok malaikat hadir mengantar cerita untukku Di sudut bersejarah sebuah kota, terkuak sebuah tanda Payung kuning di tanganku tertutup, berganti menjadi kematian Hujan melengkapi segala cerita yang...