“Dia hanya rindu, dia hanya belum mengetahui dan menyadari semua ini. Semua berawal karena hujan untuk aku bisa menemukannya kembali, di balik payung kuningnya..” ~ Derryl
“Hujan lagi. Bagaimana ibu bisa keluar rumah siang ini?” Ibuku berjalan menuruni tangga teras rumahku yang licin sambil membuka payung kuningnya, dan menunjukkan wajah cemasnya saat menatap langit. Aku hanya bisa memandang ibuku yang berlalu melalui celah di balik tirai jendela kamarku.
Namun, sekarang hujan menjadi perlambangan perpisahan ini. Mungkin saat itu menjadi saat terakhir aku melihat dan mendengar suaranya.
Awan kelabu menggantung di sepanjang kota. Kilat cahaya putih membelah langit. Suara petir menggelegar tak terlewat untuk bisa terdengar. Apa tanda ini semua? Ya, hanya satu kata teringat, satu kata menyakitkan untuk diucapkan, yaitu ‘hujan’. Hujan itu selalu hadir dan meninggalkan setitik embun saat aku melihatnya, aku takut—takut kembali mengingat. Semenjak ibuku tiada untuk selama-lamanya, ini akan menjadi kisah baru untukku, yaitu mengenang dirinya.
“Marie..” teriak bibiku yang ketiga kalinya dari dapur, membuat aku terbangun dari mimpi buruk semalam. Mimpi buruk yang selalu hadir di setiap tidur malamku, merenggut semua mimpi indahku sejak kecelakaan ibuku terjadi di malam hujan itu. Aku menyeret langkahku menuju asal suara bibiku, Bibi Sarrah. Bibi yang selalu menemaniku, menggantikan kehadiran ibuku namun tak bisa merubah segalanya.
“Apa kau tak ingin pergi sekolah hari ini, Marie?” tanyanya sambil meletakkan segelas susu di hadapanku.
“Aku akan segera berangkat, belum terlambat untukku tiba di sekolah tepat waktu. Lagi pula untuk apa aku sudah mengenakan seragam pagi ini, kalau tidak untuk pergi sekolah.”
Bibiku hanya tersenyum, dan segera kuhabiskan susu itu.
Aku berdiri di teras rumahku menunggu redanya hujan pagi ini, sama seperti yang sering ibuku lakukan dulu namun hujan tak menunjukan tandanya akan berhenti. Bibiku datang dari balik tubuh panikku ini sambil menyodorkan payung kuning yang dulu sering digunakan ibuku.
“Bawa payung ini dan segera berangkat. Hujan tak akan menunggu untuk berhenti.” kata bibiku dengan lembut sambil menatapku cemas.
“Aku tak ingin menggunakan payung itu. Itu hanya membuatku—“
“Jangan pikirkan lagi, kau akan terlambat nanti.”
Bibiku segera membuka payung itu dan aku menerima payung itu dengan terpaksa.
Kini yang kupikirkan hanya payung yang melindungiku dari hujan ini, payung yang dibawa saat terakhir ibuku. Ingin sekali tubuhku ini basah daripada harus mengenang kejadian tragis tentang ibuku. Meninggalkan payung ini di tengah jalan, mungkin itu bukan pikiran yang bagus.
“Apa yang kau pikirkan, Marie? Kau sudah terlambat.” Pikiranku kembali tergugah pada langkahku yang menginjak genangan air.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan lagi. Aku seakan kehilangan arah tanpa ibuku. Berulang kali para guru memperingati nilaiku yang semakin hari menurun dan hal bodoh yang ingin kulakukan saat ini adalah meninggalkan sekolah.
Kuluruskan langkahku dan tak berbelok ke sekolah di persimpangan jalan. Aku kembali menutup payung kuning ibuku, membiarkan tubuhku ini basah karena hujan. Aku duduk di sebuah kursi, tepat di depan sebuah toko aksesoris namun itu tak membuatku tertarik. Aku terus memandangi hujan dan berharap hujan segera mereda.
Satu hal yang menarik perhatianku lainnya, seseorang menduduki kursi di sampingku sambil terus melirik payung di tanganku. Yang kupikirkan sekarang, kuharap orang ini tidak ingin mencuriku dan juga mencuri payungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Rindu untuk Hujan
General FictionKisah semusim lalu terajut dalam sebuah kenangan Sesosok malaikat hadir mengantar cerita untukku Di sudut bersejarah sebuah kota, terkuak sebuah tanda Payung kuning di tanganku tertutup, berganti menjadi kematian Hujan melengkapi segala cerita yang...