Pernah kutemui Hoseok yang membentak di depan wajahku, suaranya menjadi lantang dalam hitungan sekon, air muka komediannya luruh dalam sekejap, rahangnya mengeras, dan kuku bukunya memutih lantaran membuat kepalan keras di tangannya.
Aku satu langkah menemui Hoseok yang itu, lalu tersadar kalau aku benci sekali membuat keributan apalagi di tengah-tengah prosesi seperti ini. Bukan aku. Setelah mengumpulkan rasionalitas yang nampaknya sedikit jauh dari kewarasanku hari ini, aku melangkah mundur perlahan dari pintu kayu jati, mengendurkan pegangan kenop di pintu hingga satu kejadian dramatis terjadi di depan mata, menyaksikan bagaimana pintu itu terbuka dan menyuguhkan pemandangan tak terduga berdiri stagnan di ambang pintu. Aku sungguh tidak mengerti mengapa ada perasaan yang aneh untuk dirasakan muncul dalam dada; apa karena aku terpesona sebentar karena kehadiran Hoseok yang lengkap dengan tuksedo seremoninya, apa karena aku melihat dirinya beranjak dewasa, apa karena aku melihat sebuah awal yang baru darinya.
"I fucking hate you."
"Sori. Aku benar-benar sudah mengurungkan niat, berarti ini salahmu." ujarku defensif, toh, aku tak salah sepenuhnya? Kaki ini sudah beranjak mundur dan berniat berjalan menyusuri koridor kalau bisa, karena sebelum itu terjadi, Hoseok sudah menarikku masuk ke dalam ruangannya, menguci pintunya (tidak tahu kenapa ia melakukan itu) lantas menutupi matanya sendiri dengan satu tangannya.
"Jules, don't you know how fucked up I am?"
"What? You did great, you looking good?"
"Fuck you."
"Sinting," balasku sinis kemudian berjalan menuju pintu untuk membuka kunci, "Aku pergi."
"Jangan."
Aku menoleh sebentar ke arahnya, "Nope, bukan hari ini, Seokkie. Aku benar-benar harus pergi." tetapi kesadaran baru saja meninju kala melihat kunci yang seharusnya menggantung di pintu tal terlihat. Menghela nafas lelah lantas berbalik menatapnya kembali, aku berujar pelan, "Hoseok. Kau akan baik-baik saja."
"Kalau tidak?"
"Kalau tidak, kau tidak akan berada disini. Kalau tidak, kau mendengarkanku. Kalau tidak, kita pasti bertemu malam ini," sekarang aku mengatakannya seperti aku menyalahkannya, salahkan kafein yang aku paksakan telan dan kasus yang selalu menumpuk semalaman. "Dengar, kau akan baik-baik saja, kau tahu aku bangga padamu? Aku tahu menikahi Naya bukanlah tujuan utamamu, kau hanya merasa bersalah pada anakmu nanti, kau tidak ingin anak itu suatu hari bertanya-tanya mengapa ayah dan ibunya tidak seperti orang tua yang lain; kau hanya ingin yang terbaik untuknya, dan aku benar-benar mengerti. Aku bangga padamu, Hoseok, akan selalu seperti itu. Jangan menangis. Kau terlihat payah."
"Kau pikir aku tidak membencimu sekarang?"
"Sudah kukatakan tadi, aku tak sengaja." aku berdecak, "Boleh aku minta? Kuncinya?"
Hoseok merogoh saku celananya, tangannya terulur untuk memberikan aku kunci dan saat tangan kami bersentuhan, aku tahu setidaknya aku harus melakukan ini; menarik tangannya agar ia mendekat dan memelukku. Pelukan kami menjadi sesuatu yang intens, terasa eksklusif, Hoseok yang menguburkan kepalanya di ceruk leherku dan aku tak kuasa untuk menghirupi pakaiannya hingga aroma tubuhnya yang wangi.
"Kita akan baik-baik saja?"
"Akan selalu seperti itu."
"I—I love you, Jules."
"I love you. Like I always do." melihat wajahnya sebelum melepas pelukan kami, aku tersenyum. "See you at the altar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
hey jules
Fiksi Penggemar○○ COMPLETED ○○ "hey jules, i fucked up." "in which level are you now?" julie tidak pernah terlalu penasaran sampai kapan hoseok akan terus menggeretnya ke dalam masalah yang punya level berkontinyu, buat apa, ia mengantongi isu yang lebih besar. ■ ...