39: Keluarga Park

965 230 75
                                    

"Kau yakin ini alamat yang benar, hyung?"

"Ini alamat yang diberikan ketua kelas padaku, Jeongguk-ie. Aku sudah mengecek dengan menghubungi Park Jihyun-ssi sendiri, dan beliau membenarkan," Taehyung mengeratkan tali ransel yang menggantung di bahunya, memandang gedung apartemen yang kelihatan lumayan mahal, menjulang tinggi.

Jeongguk melirik pegangan Taehyung yang tidak kunjung terlepas dari tali ranselnya, begitu kuat sampai dia yakin buku-buku jari Taehyung memang memutih karena genggamannya terlalu kuat.

"Apa yang hyung khawatirkan?"

Pertanyaan yang sebetulnya Jeongguk sudah tahu jawabannya, karena banyak hal yang sedang berkecamuk di pikiran Taehyung sekarang sampai-sampai ekspresi remaja yang lebih tua berubah hampir kosong saking serius.

"Hanya kalau aku tersesat," Jeongguk tahu Taehyung berbohong. "Aku tidak terlalu pandai baca peta. GPS juga bisa menyesatkan, dan kita tadi baru bisa naik bus yang kelihatannya benar setelah bertanya pada tiga orang."

"Setidaknya kita bisa tanya dengan bahasa Korea tadi. Kita cuma pindah ke kota yang agak jauh saja," Jeongguk mengistirahatkan tangannya pada bahu Taehyung, sesekali memijat bahu yang lebih tua agar lebih rileks.

Kekeh kecil lolos dari bibir Taehyung. "Kau benar. Aku sudah sangat takut kalau Park Jihyun-ssi masih tinggal di Jepang. Untungnya sudah sebulan lalu keluarganya kembali ke Korea, dan karena sibuk pindahan, lokasi domisilinya di media sosial belum diganti,"  sebelah tangan Taehyung akhirnya bisa bergerak untuk mengusap punggung tangan Jeongguk di bahunya, isyarat untuk mencukupkan pijatan-pijatan lembut Jeongguk.

Kedua remaja itu melangkah masuk ke dalam gedung apartemen mewah di depan mereka tanpa bicara. Taehyung, karena menyembunyikan ketidaksiapan akan bertemu dengan salah satu anggota keluarga Park--yang mengartikan perpisahannya dengan Jimin--dan Jeongguk terpaksa harus diam saja karena Taehyung tidak bersuara. Mau menghibur pun Jeongguk kehabisan kata. Lagipula, Taehyung kelihatan sudah cukup lelah tanpa diajak bicara, padahal tujuan utama dari apa yang diusahakan Taehyung sebulan terakhir ini belum terlaksana seluruhnya.

Ada orang bilang terkadang mencari itu tidak perlu terlalu jauh dan coba cari yang dekat-dekat dahulu. Tentu saja dalam konteks pencarian Taehyung ini hal itu sama sekali tidak berlaku. Hanya tahu apa yang harus ditemukan, tanpa tahu harus memulai dari mana. Paman ketua kelasnya hanya kebetulan saja menjadi Park Jihyun yang tepat, yang sudah dicari-carinya sampai kehilangan setengah waktu istirahatnya belakangan ini.

Jeongguk bisa melihat Taehyung kelelahan. Bukan cuma dari kantung matanya yang berlapis tiga, bibirnya yang kering dan kulitnya yang kelihatan kusam karena sering lupa minum, kelelahan Taehyung malah lebih terlihat dari matanya yang berbinar-binar.

Aneh, memang, Jeongguk sendiri juga baru tahu ada jenis lelah hati yang seperti Taehyung ini. Lelah yang disembunyikan rapat-rapat, pahit yang dibalut gula meskipun hatinya tersayat-sayat.

Jeongguk hampir menanyakan keadaan Taehyung sekali lagi sebelum remaja itu menekan tombol di sebelah pintu apartemen, nomor kamar di depan pintunya persis yang tertera di layar ponsel Taehyung. Namun Jeongguk mengurungkan niatnya karena pintu dibuka tepat sebelum Jeongguk sempat membuka mulut.

"Apa ini Kim Taehyung?" tanya seorang pria--usianya mungkin sekitar tiga puluh, pada Taehyung dan Jeongguk yang berdiri canggung di ambang pintu, lengkap dengan kaus, jaket, dan sepatu yang kontras sekali dibandingkan dengan interior koridor apartemen indah tersebut.

"Saya Kim Taehyung," Taehyung menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk Jeongguk setelah memperkenalkan diri. "Dan yang ini Jeon Jeongguk."

Jeongguk membungkukkan badannya sedikit untuk menunjukkan salam hormatnya, menggumamkan 'selamat sore' sebagai sapaan ringan pada pria yang membukakan pintu.

✔️| imaginary friend [kth x pjm]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang