16: Aku Minta Maaf

1.2K 261 4
                                    

Tanggal tiga belas September, semester baru akhirnya dimulai, dan Taehyung tidak bisa lagi pergi main setelah sarapan dan mandi pagi seperti saat liburan. Taehyung memasukkan beberapa buku tulis ke dalam ransel sekolahnya, menghitung dengan hati-hati supaya tidak kekurangan buku tetapi tetap menyisakan tempat untuk buku-buku cetak yang akan diberikan di sekolah nanti. Meskipun hari pertama di kelas satu sampai empat sebelumnya selalu dimulai dengan absen dan perkenalan dengan teman-teman yang belum pernah sekelas dengannya sebelumnya, Taehyung tetap mengantisipasi kalau di kelas lima ini sudah ada yang akan dicatat di hari pertama--itu ajaran Namjoon, untuk selalu berjaga-jaga.

"Bunda," Taehyung memanggil Seokjin yang masih sibuk menyiapkan bekal makan siang untuk sang suami, untuk Taehyung, juga untuk dirinya sendiri. Kaki Taehyung melangkah cepat-cepat menuruni tangga dari kamarnya menuju dapur di lantai satu, membuat suara yang ribut.

"Taehyung, kalau turun tangga hati-hati! Jangan sembarangan begitu, nanti jatuh!"

Omelan Seokjin dibalas dengan kekehan tawa Taehyung. Anak itu menghambur ke dapur, lalu memeluk pinggang Seokjin, "Bunda hari ini masak apa untuk makan siang?"

"Gimbap, untuk Taehyung Bunda tambahkan stroberi dan susu madu," jawab Seokjin. "Taehyung-ie lepas dulu, Tae sudah besar, Bunda susah bergeraknya, nih."

Taehyung menurut sambil tertawa-tawa, lalu duduk di kursi meja makan dan mulai mengoles selai di roti untuk sarapan. "Ayah?" tanya Taehyung pada Seokjin, karena tidak menjumpai Namjoon ikut sarapan dengan mereka. "Sudah berangkat kerja?"

"Jam empat pagi tadi Ayah dapat panggilan dari rumah sakit," jawab Seokjin. "Katanya kemarin ada kecelakaan lalu lintas. Bus mengalami rem blong, lalu menabrak pohon besar. Setelah itu katanya tangki bensinnya meledak, parah sekali."

Taehyung meringis ngeri, dengan mulutnya menghisap jari-jarinya yang belepotan selai. "Seram," respons Taehyung singkat sebelum menggigit potongan rotinya dan mengunyahnya pelan. "Berarti Ayah akan lembur?" tanya Taehyung lagi.

"Kemungkinan besar begitu."

 Taehyung menganggukkan kepala, lalu kembali menatap rotinya yang sudah ia gigit. Membicarakan pekerjaan sang ayah selalu membuatnya tak nafsu makan. Tidak heran juga sebenarnya, toh memang pekerjaan Namjoon sedikit tidak biasa di kalangan orang awam.

"Nama pekerjaan Ayah itu dokter apa, Bunda? Uhh, aku lupa, for... Formulir? Formasi?"

"Forensik, dokter forensik."

"Aah, iya. Forensik."

"Kenapa Taehyung tanya lagi? Taehyung mau jadi seperti Ayah?" Seokjin meletakkan empat kotak makan, dua yang berukuran sedang, berisi nasi dan potongan galbi dengan paprika, dan dua lagi yang diletakkan dalam tas bekal terpisah, yang satu berwarna biru dan yang lainnya kuning.

Taehyung menggeleng, "Aku mau jadi seperti Bunda saja, pekerjaan Ayah seram," katanya.

Seokjin terkekeh mendengar jawaban putranya, "Kalau begitu Taehyung-ie harus belajar yang rajin di sekolah," katanya. "Bekalnya dihabiskan, ya. Nanti pulang sekolah langsung pulang, di kulkas ada galbi dan japchae. Panaskan di microvawe untuk makan siang." Seokjin mendorong dua tas bekal di depannya ke depan Taehyung, sampai ke daerah yang bisa diraih anak itu.

"Banyak sekali, aku tidak akan bisa menghabiskannya," keluh Taehyung saat dua tas bekal itu sampai di depan tubuhnya.

"Yang satu untuk Jeongguk. Habis ini antarkan dulu ke depan," Seokjin keluar dari daerah dapur, "Bunda mau ganti baju dulu, Taehyung-ie siap-siap ya."

Taehyung mengangguk, tetapi ekspresi wajahnya langsung berubah ketika Seokjin sudah meninggalkan dapur. Wajahnya menampakkan raut yang penuh keraguan dan khawatir. Bibir bawahya digigit-gigit pelan sebelum Taehyung bangkit dari kursinya dan meletakkan piring kotor bekas makan roti di tempat cuci piring.

Ting tong

Taehyung menekan bel pintu rumah di depan pagar keluarga Jeon sekali lagi. Sudah tiga kali dia menekan tombolnya, tetapi anak pemilik rumah yang tinggal di sana tidak kunjung keluar. Taehyung berusaha menepis pikiran kalau Jeongguk tahu bahwa dialah yang sedang berdiri di depan pagar, dan karena Jeongguk masih marah padanya anak bergigi kelinci itu jadi enggan membukakan pintu. Sejak Taehyung meninggalkan Jeongguk dengan marahnya di tanggal satu September kemarin, Taehyung belum bertemu Jeongguk lagi. Taehyung beberapa kali keluar rumah untuk pergi bersama Namjoon dan Seokjin di akhir pekan, juga beberapa kali keluar ke minimarket untuk membeli susu atau garam pesanan Seokjin saat wanita itu sedang memasak, tetapi tidak pernah sekali pun Taehyung lihat Jeongguk keluar dari pintu kayu solid berlapis pelitur di depan rumahnya.

"Apa Jeongguk belum bangun?" gumam Taehyung pada dirinya sendiri. Taehyung menghitung dalam hati sampai dua puluh sebelum menekan tombol bel pintu rumah keluarga Jeon lagi. Masih tidak ada jawaban, dan Taehyung pun memutuskan untuk berjalan ke kanan, menuju akhir dari tembok dua meter pembatas rumah Jeongguk dengan jalan, lalu meneriakkan nama Jeongguk ke arah jendela di ujung rumah. 

Baru dua kali berteriak, Taehyung sudah mendengar kunci pintu diputar dari dalam dan pintu depan membuka, menampakkan wajah Jeongguk dengan rambutnya yang masih basah, handuk tersampir di bahunya untuk mencegah air yang belum berhenti menetes membasahi pakaiannya. Taehyung berlari kembali ke depan pagar, matanya menatap mata bulat Jeongguk dengan takut-takut.

"A-Aku minta maaf," katanya pada Jeongguk.

"Untuk?"

Taehyung menundukkan kepalanya, "Karena marah padamu kemarin dan mengatakan kau pembohong," kata Taehyung lagi.

"Jadi hyung percaya padaku, akhirnya?" tanya Jeongguk, dari nada bicaranya Jeongguk terdengar biasa saja, tapi di telinga Taehyung suara Jeongguk terdengar begitu tajam.

"Bukan begitu. Ah, sulit menjelaskannya," Taehyung mengangkat kepalanya lagi, lalu menyodorkan tas bekal berwarna kuning ke depan Jeongguk, juga satu gantungan kunci kecil berbentuk kelinci berwarna biru dengan lonceng kecil warna emas--satu yang dimilikinya dari bermain mesin gacha di depan minimarket dekat sekolah. "Untukmu, dari Bunda. Orangtuamu belum pulang, kan?"

"Mereka meninggalkan cukup uang supaya aku bisa beli roti dan susu di kantin," jawab Jeongguk, "hyung bisa bilang pada Bibi Kim supaya tidak perlu repot-repot."

"Tapi nanti kalau makan roti saja Jeongguk tidak akan sehat dan tumbuh besar dan kuat!" sela Taehyung. "I-Itu yang Bunda bilang," Taehyung kembali memalingkan wajahnya.

Jeongguk mengulurkan tangannya untuk menerima tas bekal yang sedari tadi menggantung di tangan Taehyung, tepat di depan wajahnya. "Aku bisa memasak nasi goreng kimchi sendiri, kalau Bibi Kim bilang roti itu kurang," katanya. "Tapi bekalnya kuterima. Sampaikan terimakasihku pada Bibi Kim, hyung, pasti masakannya kuhabiskan," Jeongguk tersenyum manis pada Taehyung.

"Ya sudah, aku pulang," Taehyung masih enggan menatap Jeongguk lebih dari beberapa kali lirik. Taehyung membalikkan badannya, dan tepat sebelum menutup pagar rumahnya, Jeongguk memanggilnya lagi.

"Terimakasih, hyung!" Jeongguk mengacungkan gantungan kunci yang diberikan Taehyung padanya bersama dengan tas bekal tadi. Senyuman Jeongguk yang cerah dan polos tersungging manis di wajah anak-anaknya. Hati Taehyung menghangat, mengetahui senyum Jeongguk berarti keduanya sudah baik-baik saja, kembali ke keadaan seperti sebelum tanggal satu September.

Taehyung naik kembali ke kamarnya di lantai dua, hendak mengambil tas sekolahnya, ketika Jimin yang berdiri di jendela kamar Taehyung yang menghadap ke jalan menyapa.

"Sudah baikan dengan Jeongguk? Bagaimana perasaanmu?"

Senyum persegi panjang Taehyung terkembang kemudian ia berlari untuk memeluk Jimin erat. "Sudah. Aku sangat lega, hyung."

✔️| imaginary friend [kth x pjm]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang