36: Sketsa

993 230 51
                                    

Sekitar dua minggu sudah lalu dari hari dipulangkannya Taehyung dari rumah sakit. Taehyung sudah kembali bersekolah, dan setiap pulang sekolah Taehyung memiliki dua kegiatan baru tambahan. Satu di rumahnya sendiri, di depan laptop untuk mencari informasi seputar keluarga Jimin yang selama lima belas tahun tidak pernah Jimin ketahui lagi keberadaannya. Puluhan akun media sosial atas nama adik Jimin, Park Jihyun, sudah Taehyung telusuri, berusaha mencari kira-kira mana pria berusia di awal tiga puluhan tersebut yang memiliki hubungan darah dengan Jimin. Kegiatan Taehyung yang lain adalah datang ke rumah Jeongguk, utamanya ketika mata Taehyung sudah lelah menatap layar empat belas inci di meja belajarnya.

"Begini?" tanya Taehyung pada Jeongguk sambil menyodorkan buku sketsa yang diberikan Jeongguk padanya satu setengah minggu lalu, ketika Taehyung memutuskan untuk belajar menggambar dari Jeongguk.

"Jarak antar matanya terlalu jauh. Bentuk hidung dan bibirnya sudah cukup bagus, sih. Bisa lebih baik kalau kau belajar shading lagi, hyung," komentar Jeongguk ketika melihat sketsa pensil Taehyung. "Kenapa kau ngotot sekali mau belajar menggambar potret Jimin, hyung? Kau bisa memintaku menggambarnya kapanpun kau mau, asal kau tahu saja," ujar Jeongguk.

"Kau kan tidak menghabiskan terlalu banyak waktu dengan Jimin-hyung. Nanti kalau ada salah-salah saat menggambar wajahnya, saat dia tidak lagi di sini, pasti aku akan protes," jawab Taehyung, kedengaran sekali bagi Jeongguk kalau remaja yang lebih tua cuma asal-asalan menjawab.

"Terserah, budak cinta," ledek Jeongguk akhirnya. "Beruntung kau ternyata berbakat. Kau belajar cukup cepat, hyung."

Taehyung membelalakkan mata, terkejut karena pujian Jeongguk yang mengatakan bahwa dia berbakat. "Aku berbakat? Katakan itu pada dirimu sendiri yang bisa menggambar Yoongi sejak usiamu sembilan tahun, Gguk!"

"Aku waktu itu belum bisa memberikan efek gelap-terang supaya gambarku terlihat tiga dimensi, hyung. Dan saat usiaku sembilan tahun aku sudah belajar menggambar.... Entahlah, mungkin sudah lima tahun?"

Ekspresi terkejut Taehyung seharusnya sudah bisa Jeongguk duga, "Apa kau belajar menggambar lebih dulu ketimbang belajar membaca dan menulis?"

Jeongguk hanya menjawab dengan menggedikkan bahu.

"Gguk," panggil Taehyung lagi, tak lama setelah kesunyian yang hanya diisi bunyi gurat pensil pada buku sketsa Taehyung dan sapuan kuas pada kanvas Jeongguk menemani keduanya.

"Hm?"

"Kenapa kau belajar menggambar dulu?"

Jeongguk meletakkan kuasnya pada gelas plastik besar yang sudah keruh air isinya, di sebelah palet plastik besar untuk menampung cat akrilik yang dipakainya sebagai media lukis di atas kanvas. Remaja itu meregangkan tubuhnya yang terasa sedikit pegal, mungkin karena sudah duduk selama berjam-jam tanpa bergerak.

"Aku butuh pelampiasan. Orangtuaku tahu aku spesial, dan karena mereka tidak bisa selalu ada untukku ketika aku butuh seseorang untuk membantuku menenangkan diri karena melihat 'orang-orang' yang menyeramkan, mereka memberikanku buku untuk dicoret-coret. Sepertinya mulai saat itu aku mulai menggambar," jawab Jeongguk panjang lebar.

"Berarti kau menggambar hal-hal yang membuatmu merasa takut?"

"Kurang lebih begitu. Kebanyakan supaya aku tidak merasa takut lagi karena aku membayangkan mereka berada di dalam bukuku, sama sekali tidak bisa menyentuhku dan membahayakanku."

Taehyung mengangguk-anggukkan kepalanya tanda paham. Tetapi setelahnya mendadak Taehyung meletakkan pensil dalam genggamannya dengan suara keras, "Lalu apa berarti kau takut pada Yoongi?"

"Dulunya," Jeongguk menjawab singkat. "Hyung tahu, karena dia dingin. Secara literal maupun tidak," lanjut Jeongguk.

"Kau benar," Taehyung terkekeh setuju. "Memangnya Yoongi kenapa sampai bisa sampai sedingin itu? Kau dulu bilang dia bunuh diri, kan?"

✔️| imaginary friend [kth x pjm]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang