Bagian 13

1.9K 126 8
                                        

Tubuh lemah itu terhempas beberapa meter dari tempat dimana sebuah mobil menabraknya. Seketika tenaga pemuda malang itu hilang dalam sekejap. Rasa sakit yang awalnya dibagian dada kiri, kini merambat keseluruh tubuhnya. Tubuhnya lemas tak berdaya tergeletak di atas aspal panas tepat di depan gerbang rumahnya.

Haru masih sadar meskipun mata sayunya ingin menutup. Menatap langkah Rada yang tertatih menghampirinya. Raut wajah khawatir Rada masih Haru lihat dengan jelas. Rada kembali padanya. Seulas senyuman tercetak diwajah penuh darah Haru. Tangannya bergerak ingin menggapai Rada dan memeluknya. Akan tetapi seolah tubuh itu terjebak pada seribu sakit yang mendera. Nyatanya gerakan itu hanyalah keinginannya tapi tidak dengan raganya yang sudah tak bertenaga.

"Haru!" Rada luruh di hadapan sang adik. Meraba tubuh penuh darah itu dan membawanya kepangkuannya.

Diletakkannya kepala Haru ke pangkuannya. Tangannya bergerak meraih kepala sang adik yang dapat Rada rasakan sebuah cairan yang merembes dari sela-sela jari tangan Rada.

Sedangkan binar mata Haru tidak lepas dari sosok Rada. Terus tersenyum dan bersyukur Rada tidak benar-benar meninggalkannya.

Dengan tangan yang telah berlumuran darah, Rada mengusap lembut pipi dingin sang adik. Ini yang Haru suka. Sentuhan tangan sang kakak. Entah apa yang Rada ucap, Haru tidak dapat mendengarkannya. Telinganya berdengung kuat namun, ia tak hiraukan. Ia memejamkan mata menikmati belaian lembut tangan Rada. Dengan seulas senyum yang tak luntur Haru melebur semua rasa sakitnya. Terbang pergi bersama nyawanya, meninggalkan raga pesakitannya itu.

"Aku sudah cukup berjuang 'kan, Kak?"

"Haru!"

******************

"Dokter. Mau 'kan janji sama Haru?"

"Iya, asal kamu mau kemoterapi besok."

Haru menganggukkan kepalanya. Kemudian menyerahkan sebuah kartu pendonor organ kepada sang dokter.

"Sebelum Mama tau, aku mau kasih ini ke Dokter. Jadi nanti kalau Haru udah menang, Dokter kasih organ tubuh aku yang kiranya masih berguna buat orang lain ya. Yang terpenting kasih mata aku buat Kak Rada."

Dokter Danu membeku mendengar permintaan pemuda yang berstatus pasien nya tersebut. Kalimat menang yang dalam artian Haru adalah meninggal dunia sontak membekukan otaknya.

"Dokter. Janji?" Haru mengulurkan jari kelingkingnya di hadapan sang dokter. Meski ragu dan berat akhirnya dokter itu mentautkan jari kelingkingnya. Membalas Haru yang berarti meng-iyakan permintaannya dan telah berjanji.

"Tidak! Saya tidak akan izinkan Dokter mengambil mata anak saya untuk anak sialan ini!" teriak Indira.

"Maafkan saya, Buk. Tapi ini permintaan anak anda sebelumnya dan saya pun sudah berjanji."

"Persetan dengan janji Dokter! Dia anak saya dan masih hak saya!"

"Kemungkinan untuk sembuh sangat kecil, kanker nya sendiri sudah stadium lanjut. Haru terlalu sering meninggalkan obatnya setelah keluar dari sini seminggu yang lalu. Tulang rusuk didadanya pun patah dan melukai paru-parunya. Bernafas, untuk Haru sangatlah sulit mulai saat ini. Anak Ibu dan Bapak koma. Saya tidak tau sampai kapan anak anda akan sadarkan diri."

"Maaf, Dok. Tolong hargai keputusan istri saya," Hadi bersuara. Dia menahan tubuh Indira dalam pelukannya. Di sini dialah penopang terkuat meski perasaannya sendiri sama kacaunya.

Akhirnya Dokter Danu pun berlalu meninggalkan keduanya. Baru beberapa meter dari tempat Hadi dan Indira sang dokter mendapati pemuda yang tengah memegang erat tongkatnya menangis di balik dinding. Tidak ada suara isakan tapi, air mata dan sorotnya menyiratkan luka yang mendalam.

"Rada," sapanya pelan. Rada menajamkan pendengarannya. "Dokter?"

"Kamu kenapa di sini?" tanyanya kembali.

Sejenak hening Rada cipta. Beberapa detik selanjutnya Rada baru bersuara. "Aku mohon sama Dokter jangan turutin permintaan Haru. Aku mau Haru sembuh, Dok."

"Tapi?"

"Jangan harap aku bakalan seneng terima mata dari adik aku sendiri, Dok. Tidak, Dok! Sampai kapanpun aku tidak akan mau!"

"Tapi ini permintaan adik kamu, Da."

"Aku tidak akan hidup bahagia Dok kalau hidup Haru aku ambil."

"Rada dengar. Kemungkinannya kecil Rada. Dokter sudah berusaha tapi, tuhan lebih sayang sama Haru. Dokter mohon ikhlasin dia. Haru sudah cukup berjuang selama ini. Ini waktunya dia bahagia tanpa rasa sakit. Kamu percaya itu?"

"Tidak, Dok! aku tidak akan biarin tuhan ngambil Haru dari aku."

Rada luruh di atas lantai rumah sakit. Mendekap erat tongkatnya sembari bertumpu pada dinding. Dokter Danu memposisikan tubuhnya dengan Rada. Mengusap lembut punggungnya yang bergetar. Memberi kekuatan yang ia miliki.

"Dokter tahu, kamu hanya butuh waktu untuk mengikhlaskan."

**********

Di ruangan streril Indira kini duduk di samping tubuh penuh luka aharu. Mata itu tertutup dengan berbagai selang dan kabel yang menempel ditubuhnya. Suara beside memenuhi telingannya. Indira mau mata itu terbuka barang sebentar.

"Buka mata kamu, Sayang. Bilang sama Mama apa mau kamu."

Ya memang itu isi hati Indira. Dia hancur melihat kesakitan anaknya. Ikhlas perlahan dia merelakan Haru tapi, sebelumnya rika ingin mendengarnya langsung dari Haru.

Keajaiban datang, mata itu terbuka. Perlahan dan perlahan sampai sempurna. Sesaat? Tak apa? Tapi pintanya sekarang beda lagi. Yakni selamanya. Tapi takdir tak bisa di ralat.

"Ma-ma," ucapnya dibalik masker oksigen yang menutup sebagian wajah. Tatapannya masih lurus menatap langit-langit ruangan itu.

"Sayang." tangannya bergetar menyisir puncak rambut Haru yang menutup dahinya.

"Sa ... kit!" lirihnya. Suara itu terdengar pilu. Menyayat batin Indira.

"Ca ... pek." Setitik cairan bening luruh dari ekor mata sang anak. Makin berdesir hatinya. Indira ikut menangis. Membekap mulutnya supaya Haru tidak mengetahuinya menangis juga. Indira harus tegar untuk anaknya.

"Ma-" Indira berdehem. Mata itu sudah menatapnya. Sayu dan layu. Haru membuka masker oksigennya. Menetralkan nafasnya untuk berucap kembali.

"Mama ... Haru boleh istirahat?" Indira mengerti maksud Haru. Istirahat artinya pergi. Dia tau semuanya menyakitkan. Bukan hanya saat ini tapi selama ini. Bertahun-tahun Haru berjuang dan kuat untuknya.

"Ma ... Haru punya permintaan terakhir sama Mama juga Papa."

"Apa sayang?"

"Janji sama Haru, kasih mata Haru buat Kak Rada, ya?"

Indira menggeleng kuat.

"Maaa ... Haru mohon."

Lagi air mata Haru meluruh. Matanya memerah. Indira tak tega. Kemudian perlahan mengangguk. Mengukir lengkung senyum yang menghangatkan.

"Sayangi Kak Rada sama halnya Mama sayang sama Haru karna setelah ini ada bagian dari Haru yang ada ditubuh Kak Rada. Kak Rada adalah aku. Dan aku adalah Kak Rada. Mama harus ingat itu."

"Tapi sayang?"

"Haru mohon sekali lagi. Buat hidup Haru bahagia, Ma. Dan ini satu-satunya cara."

Indira merunduk. Menangis sejadi-jadinya di sisi ranjang Haru.

Hadi menguping di balik pintu. Tak berani mendekat guna melihat putra kesayangannya untuk terakhir kalinya. Ia tetap memaku di tempatnya. Matanya memerah karna menangis, sama halnya seperti sang istri.

Tbc

Description (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang