“Ja ... ngan,” igau Sakura dalam mimpinya. Kepalanya berdenyut nyeri, keringat mengucur disepanjang pelipisnya. Satu tangan hangat menggenggam tangan dingin Sakura. merasa tak tega melihat sang adik yang tengglam dalam mimpi buruk, Sasori berniat membangunkannya.
“Sakura,” panggil Sasori lembut, mengguncang pelan bahu Sakura. namun gadis itu kian tenggelam dalam mimpinya, bahkan Sakura sampai menangis dan mengucurkan air mata.
“Kakak disini, Sakura. Sst, jangan menangis.” Sasori mulai panik. Namun dia tetap mencoba membangunkan Sakura, menggenggam kian erat tangan kecil sang adik.
Hingga Sakura membuka kedua matanya dengan berlahan. Napasnya menderu tak karuan, dia menangis tak tentu arah saat melihat tatapan mata Sasori begitu mengkhawatirkan dirinya.
“Kakak,” isak Sakura sambil berusaha duduk, meraih tubuh sang kakak dan memeluknya erat.
“Ssst, tak apa-apa,” Sasori menepuk pelan punggung Sakura, tangannya terulur untuk mengelus surai merah jambu sang adik. “aku disini, jangan menangis. Semuanya akan baik-baik saja.”
Sakura menangis sepuas-puasnya. Aroma tubuh Sasori yang berkeringat dan bercampur dengan parfum yang ia kenakan, memberikan ketenangan tersendiri untuk Sakura. Gadis itu yakin, Sasori baru pulang dari dinas luar kotanya, terbukti dari pakaian kerja yang masih terpasang ditubuh kakaknya.
Lagi-lagi mimpi buruk itu lagi, harus sampai kapan? Ucap Sakura dalam hati.
Lima menit waktu yang Sakura butuhkan agar dirinya bisa kembali tenang. Setelah yakin bahwa kini dia lebih tenang, Sakura mengurai pelukan, mengusap wajahnya sembab. Sasori Memandang iba pada adik dan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Jika dia bisa, dia ingin mengambil semua luka dan sakit yang Sakura derita.
Namun nyatanya, sebagai kakak Sakura, Sasori tetap tak bisa melakukan apa-apa.
Sakura buru-buru membuka sebotol obat penenang yang selalu tersedia diatas nakas saat tangannya mulai gemetaran hebat. Mengambil dua pil, lalu menelannya sekaligus, lalu meminum air putih hingga Sakura bisa bernapas lebih lega.
Semuanya tak luput dari pandangan Sasori. Membuat hatinya seperti tertusuk ribuan duri. Sampai kapan Sakura harus menjalani hari-hari penuh obat seperti ini? Berbagai upaya sudah Sasori lakukan, agar Sakura bisa lepas dari jerat tak kasat mata bernama phobia yang mengekang kehidupannya. Sasori selalu ingin memberikan yang terbaik untuk Sakura, namun sejauh ini, yang ada tetaplah hanya luka.
“Merasa lebih baik?” tanya Sasori, menarik senyum tipis yang berusaha dia ukir ditengah gejolak tak menyenangkan yang mengerayangi hati.
“Kakak baru pulang? Kenapa tidak istirahat dahulu dan malah menungguku yang tertidur disini?” Bukannya menjawab, Sakura malah melontarkan kalimat tanya lainnya. Suara paraunya membuat hati Sasori kembali berdenyut tak karuan.
Sasori menyentil kening Sakura. Membuat gadis merah muda itu mengaduh pelan. “Tertidur apanya? Aku menemukanmu pingsan di halaman belakang, dekat jalan setapak menuju rumah eksekusi.” Ketika teringat tempat tersebut, sontak Sasori memicingkan mata. Ada urusan apa Sakura kesana? “Apa terjadi sesuatu selama aku tidak di rumah?”
Sakura menelan ludah, matanya memanas seiring dengan ingatannya yang mengingat kejadian demi kejadian pahit yang dia alami. Begitu banyak hal yang terjadi, membuat Sakura berubah menjadi gadis yang sensitif dan suka melankolis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mausoleum [✔]
FanfictionSakura pikir, Sasuke itu seperti lautan malam yang menenggelamkan dan punya banyak sisi yang tak terungkapkan. Membuat Sakura tanpa berpikir dua kali, tak ingin memiliki hubungan apapun dengan Sasuke, apalagi sesuatu yang melibatkan perasaan. Namun...