“ Neno, bagaimana keadaan kamu sekarang Nak? Mama dan Papa kemarin langsung pulang setelah mendengar kabar dari Dokter Agam tentang kondisi kamu yang semakin menurun,” tanya Melly- Mama Neno dengan raut wajah yang khawatir.
Saat ini mereka sedang duduk di sofa dan membicarakan tentang kondisi Neno. Untuk apa mereka peduli jika itu hanya tentang penyakit anaknya? Bukan tentang bagaimana sekolah Neno saat ini. Terkadang lelaki tersebut sempat iri melihat teman-temannya bisa dekat dengan orangtua mereka masing-masing.
Bahkan pernah pada suatu hari Neno bermain ke rumah Ega dan kedatangannya disambut hangat oleh Mamanya Ega. Sempat juga Mamanya Ega bertanya-tanya tentang sekolah Neno sampai kehidupan Neno saat di rumah, lalu Neno menceritakan semuanya pada Mamanya Ega. Karena ia merasa wanita paruh baya tersebut mampu menerima semua keluh kesah Neno. Bahkan Neno saja tidak pernah mendapatkan hal semacam itu di rumah.
“Baik kok Ma,” jawab Neno sambil tersenyum. Sebenarnya ia kecewa dengan Melly, karena pada saat awal gejala Neno menderita penyakit leukimia ini, Neno tidak begitu diperhatikan. Coba kalau tentang bisnis, selalu saja menjadi prioritas orangtua Neno.
“ Apa perlu Papa bawa kamu ke Amerika?” kali ini Gavin- Papa Neno yang berbicara dengan serius kepada putra satu-satunya itu.
Neno yang semula menunduk langsung mendongak menatap Papanya itu yang kini usianya sudah berkepala empat. “Jangan dulu Pa,” larang Neno.
“ Jika kamu tidak mau, maka kamu harus menerima saran dari Dokter Agam kalau kamu harus ikut kemoterapi. Penyakit kamu itu tidak main-main Neno, kamu harus bisa sembuh dengan cara apapun itu,” ujar Gavin seolah memaksa Neno, bukan membujuk anaknya itu dengan baik.
Neno benci saat ini, ia benci jika kedua orangtuanya selalu saja menuntut Neno untuk melakukan hal ini dan hal itu tanpa mengetahui perasaan anaknya yang sebenarnya.
“Kalau dengan mati Neno bisa sembuh, apa Papa dan Mama senang?” tanya Neno terkekeh sambil menatap kedua orangtuanya. Kali ini ia harus berani bicara, meski sedikit melawan orangtua.
“ JAGA UCAPAN KAMU NENO!” bentak Gavin yang tangannya mulai mengepal. Berani-beraninya Neno berkata seperti itu. Padahal dari dulu ia selalu menuruti perkataan Gavin dan Melly.
“ Udah Pa, yang sabar,”ujar Melly mengusap lengan suaminya yang tersulut emosi. Dan menatap putranya dengan pandangan seolah mengatakan ‘udah’.
Neno tak menghiraukan tatapan dari Mamanya lalu beralih menatap Gavin kembali. “Neno udah besar Pa, Neno bukan anak kecil lagi yang seenaknya Mama sama Papa bisa atur. Dari dulu Papa selalu menuntut Neno supaya Neno bisa ini, bisa itulah. Neno mau jadi diri Neno yang sekarang, yang enggak lagi bergantung sama tuntutan dari Mama sama Papa,” jelas Neno.
Melly melihat dari mata putranya ini seperti banyak luka yang dipendam Neno sendiri, mau sesibuk apapun dirinya, Neno tetap anak Melly. Anak satu-satunya, dan ia tak mau kehilangan putranya ini.
Lain halnya dengan Gavin yang sama sekali tidak peduli dengan perasaan anaknya. Yang ada di dalam benak Gavin saat ini hanyalah marah, marah dan marah. Gavin menatap lurus Neno dengan tatapan tajam.
“Keputusan Papa sudah bulat Neno, kamu harus segera melakukan kemoterapi. Kalau dengan cara ini tidak bisa menyembuhkan penyakitmu itu, dengan terpaksa Papa akan membawamu ke Amerika untuk berobat dan tinggal di sana sementara,” tutur Gavin.
Detik itu juga hati Neno mencelos, pundaknya turun lemas, dan mulai menundukkan kepala. Mau dia memberontak seperti apapun, Papanya yang sangat keras kepala itu tak akan luluh. Jadi mau tidak mau ia harus menuruti perkataan Gavin. Lagi. Untuk yang sekian kalinya. Hal tersebut juga malah membuat nyali Neno ciut untuk kesembuhannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Go Away
Teen Fiction"Re,kalau misalnya gue udah pergi gimana?"Ucap Neno asal,sambil memandangi langit yang penuh bintang "Maksud lo apa?"Rere menoleh dengan alis yang bertaut "Lo mau janji sesuatu sama gue?"ujar neno "Apa?" "Jangan lupain kenangan kita,meski gue tahu...