Garuda Indonesia 838 berhasil menurunkan Siyeon, Santi dan Naeun dengan selamat. Tepat pukul Sembilan belas tiga puluh dengan tiga jam perjalanan, dirinya tiba dibandara Halim Perdanakusuma. Memang tidak banyak pakaian yang mereka bawa, jadi tidak akan merepotkan untuk Siyeon dan Santi mengaturnya.
Malam yang dingin terasa sangat menyelimuti kota Jakarta. Siyeon memberikan sweater kecil kepada Naeun yang sekarang sedang mengantuk dipelukannya.
"Princess, please wake up and wear this sweater," bisik Siyeon pada anaknya. Santi yang membawa Tas Siyeon dan dirinya segera menemukan Cafè dengan hingan kopi hangat disana.
"Bu, mau kesana sebentar? Saya masih pusing, Bu." Eluh Santi.
Mendengarnya membuat Siyeon tersenyum dan mengangguk, "baiklah, give me one warm coffe, Santi."
"Baik, Bu."
Saat mereka telah memesan, Naeun yang tiba-tiba terlihat rewel kembali dalam pelukannya sangat membuat Siyeon resah.
"Santi, bisa bantu saya sebentar?" Siyeon yang terlihat kualahan segera memberikan Naeun pada Santi dan merapikan bajunya yang semula terlihat berantakan, serta mengikat simpel rambut panjangnya.
"What's wrong with you, Princess? Mommy's here..." bisik Siyeon lembut.
Naeun lebih tenang sekarang saat Siyeon kembali memeluknya. Namun entah kenapa, airmatanya berlinang begitu saja. Dan itu membuat Siyeon sangat merasa bingung.
Naeun adalah anak yang pintar, tidak seperti biasanya ia akan seperti ini.
"Apa dia demam, Bu?" Tanya Santi.
Siyeon segera mengeceknya dan tidak merasakan panas apapun pada tubuh Naeun, "tidak Santi."
Sesaat hidangan yang mereka pesan datang dan Siyeon segera menyesap kopi hangatnya. Melihat Naeun yang sudah kembali tertidur dalam pelukannya membuat dirinya lebih tenang.
"Bu, apa yang Ibu bicarakan tentang Australia kepada saya kemarin?" Tanya Santi. Siyeon kembali sadar kemarin malam dirinya belum menyelesaikan pembicaraannya dengan Santi tentang kepindahannya.
"Saya ingin menetap disana Santi," pandangan Siyeon jatuh kembali pada Naeun yang terlihat tenang, "saya ingin kerumah orang tua saya."
"Tapi, Bu. Bagaimana dengan Pak Jeno?"
"Jeno? Bukankah memang dari awal saya tidak punya hubungan apapun dengannya?" kecuali hubungan ranjang, tidak lebih. Lanjutnya dalam hati.
"Tapi Bu, Ibu harus pikirkan kembali keputusan Ibu. Lihatlah, Naeun membutuhkan seorang Ayah, dan Ibu juga tidak bisa hidup sendiri terus-menerus seperti ini. Akan ada waktunya Ibu membutuhkan seorang pendamping untuk menemani masa tua Ibu," Santi menatap sendu majikannya. Biarkan jika ia akan dicap sebagai Assistan yang lancang, tapi bukankah ucapannya benar? Ia tidak akan bisa melihat Naeun kembali sedih saat ditanya oleh orang lain kemana Ayahnya berada.
Sedangkan Siyeon hanya bisa tersenyum lirih. Ya, Santi benar, dia akan membutuhkan seorang Pria nanti. Tapi pria itu tidak harus Jeno, bukan?
"Santi, pastinya kamu sudah membaca Artikel pagi ini. Apa yang akan kamu pikirkan pertama kali saat membacanya?" Tanya Siyeon.
Santi dengan lirih berkata, "Saya memikirkan Ibu..."
"Bagaimana Saya bisa berhasil lolos dari semua itu 'kan? Lalu bagaimana Santi, saya sama sekali tidak mempunyai kekuatan apapun untuk melawan mereka sendirian. Saya mempunyai malaikat kecil yang harus saya lindungi."
Jawaban Siyeon membuat Santi menunduk. Benar apa perkataannya, dan itu membuatnya bingung harus berbuat apa. Parahnya, Jeno tidak ikut bersama mereka hari ini pulang ke Jakarta karena masih ada beberapa urusan pekerjaan di Singapura dan itu pasti membuat Siyeon berkali lipat rasa takutnya.