"Mamah akan mengajak aku untuk datang ke acara ini?"
"Ya, tentu saja. Kamu adalah calon menantu Mamah. Tentu saja kamu akan mendampingi Jeno disana."
Kartika tersenyum mendengar perkataan Kamila dihadapannya.
Sebenarnya, Kamila sudah khawatir jika saja Kartika ingin mengeluh lagi tentang perlakuan Jeno kemarin. Tapi ternyata apa yang dilihat Kamila adalah hal yang tak terduga. Kartika tidak membahas apapun padanya. Wanita itu terlihat tenang seakan-akan Jeno tidak membuat ulah. Dan paling penting, Kartika tidak mengancam untuk mundur menjadi menantunya-----dan menarik pinjaman sahamnya.
"Tapi... akan terlihat aneh jika aku tidak berangkat bersama dengan Jeno, Mah." Kartika tersenyum dengan harapan Kamila mengerti.
Kamila yang sekarang merasa tidak punya kekuatan apapun lagi untuk mencegah Jeno, tidak tahu harus berkata apa.
Bahkan sudah lebih dari dua minggu dirinya tidak melihat anak sematawayangnya itu.
"Tenang, itu tidak menjadi masalah," Kamila menggenggam tangan Kartika, "semua tahu siapa yang akan bersama Jeno pada akhirnya. Tentu saja dengan kamu, sayang."
"Bagaimana jika tidak? Apa Mamah bisa menjaminnya?"
"Jangan berkata yang tidak baik, Kartika. Tentu saja hanya kamu yang akan Mamah jadikan untuk menjadi menantu."
Kartika tersenyum hangat. Pikirannya berkata, dia sangat tahu Kamila sudah tidak mempunyai kekuatan apapun. Maka dari itu, dirinya harus memutar otak untuk mengurus hal ini sendiri.
.
Jeno memakai dasi hitamnya dengan sedikit kasar.
Setelah beberapa menit lalu dirinya membuka pesan E-mail milik Siyeon, dimana akun E-mail itu masih terbuka di handphone Jeno, sayangnya saat Jeno ingin me-logout dia melihat sesuatu yang tidak mengenakkan sama sekali.
Banyak rekan kerja, bahkan anak karyawannya sendiri yang mengajak Siyeon untuk menghadiri acara Launching Qlie Holdings Singapure Stores malam ini.
Bibir Jeno tersenyum kesal membayangkannya. Lihat saja, apa yang akan Jeno lakukan nanti malam----rencana untuk mengumumkan pernikahan dirinya dan Siyeon, pasti akan terlihat sangat menggegerkan. Dan dia akan pastikan, pria-pria disana akan iri dengannya. Bahkan Jeno berpikir para pria yang baru saja mengajak Siyeon berkencan sepertinya ingin sekali dimutasikan ke cabang luar kota. Kalau perlu di luar negeri agar tidak ada yang bisa mengganggu Siyeon-nya.
"Aku bantu."
Siyeon yang gemas melihat Jeno diambang pintu sedaritadi masih bergelut dengan dasinya, langsung mengambil alih dasi pria itu dari tangannya.
"Tidak pernah berubah, Jeno Lee selalu berhasil membereskan masalah perusahaan tapi tidak dengan Dasi," Siyeon dapat mencium aroma khas Jeno di indera penciumannya.
Tidak, jangan menangis. Anak ini harus mengerti kalau menangis saat dirinya sudah berhias selama satu jam adalah hal yang tidak lucu sama sekali.
Jeno hanya diam hingga tangannya menyentuh pinggang Siyeon.
"Jeno, lepas. Aku tidak bisa mengikat dasi kamu kalau jaraknya sedekat ini."
"Mengapa tidak bisa?"
"Ya, tidak bisa."
Rambut Siyeon yang tergerai panjang dan hitam, membuat Jeno tergerak untuk menyingkapnya kebelakang.
"Kamu terlalu cantik, dan aku tidak akan membiarkan pria manapun untuk memilikimu, bahkan pria yang mencoba untuk mendekati kamu sekalipun." Jeno membiarkan leher Siyeon terlihat dan dirinya mencium dangan lembut disana. "Aku suka wangi mawar kamu, tidak pernah berubah dan tetap sama."
Setelah Siyeon berhasil merapihkan dasi pria itu, dirinya terdiam. Menahan nafas dan sedikit mengerti, kalau pria ini sedang cemburu.
"Katakan, sekarang pria mana yang kamu cemburui, lagi?"
"Aku tidak cemburu."
Siyeon mengangkat alisnya, "kamu tidak bisa berbohong."
"Aku tidak cemburu, tapi aku hanya ingin menghajar pria-pria yang mengganggu akun E-mail kamu."
Jeno semakin posessif saat tangannya mengerat pada pinggang Siyeon, menggigit lehernya dan membiarkan tanda merah muncul disana.
"Jeno, mereka hanya rekan kerja aku..."
Siyeon meremas kemeja putih Jeno yang belum terbalut Jas Brioni Hitamnya. Shit, ia merutuk saat satu desahan lolos begitu saja dari mulutnya. Dan itu membuat Jeno semakin liar hingga memasukkan tangannya pada gaun silvernya.
"Jeno, stop. Kita tidak boleh melewatkan acara ini..." Siyeon coba untuk mengatur nafasnya dan mendorong tubuh Jeno darinya, "karyawanmu akan kecewa bila Boss nya tidak datang Jeno, hentikan."
"Bahkan dengan gaun yang sangat tertutup, kamu tetap bisa menggoda aku, Siyeon."
Akhirnya Jeno melepas tautannya dan menatap wajah Siyeon yang sangat cantik malam ini.
"Jangan bercanda, satu jam lagi acaranya akan dimulai. Aku sudah siap dan jangan sampai kamu hancurkan lagi riasan aku."
Siyeon mengambil Jas hitam Jeno dan menyuruh pria itu untuk memakainya.
"Aku akan kekamar Naeun sebentar untuk menjemputnya."
"Tunggu,"
Jeno menghentikan langkah Siyeon dan kembali membawa wanita itu dalam dekapannya.
Siyeon menggigit bibir ranumnya menahan desahan saat Jeno kembali melumat lehernya yang terbuka.
"Aku tidak suka saat kamu cemburu seperti ini, Jeno... tolong, hentikan."
Siyeon tidak bisa menahannya lagi hingga tangan wanita itu mengacak lembut rambut Jeno yang sudah tertata rapih.
"Justru aku sangat suka kepada diriku yang sedang cemburu ini. Karena akan aku pastikan saat semua orang melihat tanda merah itu dilehermu, itu sudah pasti karena ulah kemarahanku."
"Jangan pernah berpaling kepada pria tampan atau kaya raya manapun, Siyeon. Karena aku akan selalu berusaha menjadi cukup untuk kamu. Mengerti?"