"Hufftt, alhamdulillah" syukurku.
Kehidupan adalah sebuah perjalanan, yang dimana jika diawali dengan hal yang buruk, maka itu bisa sangat mengganggu sebuah perjalanan. Namun jika semua itu diawali dengan hal yang baik, sesungguhnya rakhmat Tuhan selalu bersama kita.
Setelah menempuh perjalanan kurang dari lima jam akhirnya aku sampai dengan selamat. Aku berdiri di depan gerbang Ponpes TQ. kardus-kardusku, aku campakan disamping kedua kaki ku, aku mainkan kedua bola mataku. kiri-kanan, kiri-kanan. Hanya ada segelintir santri yang berlalu lalang di depanku seraya membungkukkan badan lalu berkata "punten". (Permisi)
Aah aku tak punya teman disini, aku tak punya seorang kenal disini. Aku harus bagaimana? dan hampir lima menit aku hanya berdiri di depan gerbang ini.
"Punten kang" seorang santri membuyarkan pikiranku, ia melangkah menuju ke arahku
"Mangga" sambil menyambut uluran tangannya yang menyalamiku
"Akang milari saha?" tanyanya sopan, penampilannya sederhana, hanya dengan sandal jepit, sarung, kemeja, dan peci di kepalanya
"Akang nyari siapa?" tanya nya lagi yang mungkin melihat ekspresi wajahku yang kebingungan
"Owh enggak enggak, sebenernya gini .... " setelah menarik nafas panjang aku menceritakan maksud dan tujuanku ke sini. Kemudian meminta santri yang menyambut kedatanganku menujukan arah rumahnya sang guru.
"Hhmm... mari saya antar kerumah Aang" kata santri itu sambil membawa separuh barangku yang tergeletak di atas tanah
"Owh iya makasih kang makasih, biar saya saja yang bawa" rayuku yang berusaha mencegah barang-barangku yang dibawanya
"Udah gak papa kang biar saya bantu, deket ko" sambil berjalan menuntunku ke arah rumah gurunya itu, aku hanya menuruti langkahnya dari belakang, sesekali melihat kanan dan kiri hanya untuk sekedar melihat bangun bilik-bilik kayu.
"Nah ini rumah Aang Tuba" jelasnya sambil menunjukan jempol jarinya ke arah pintu depan rumah itu.
"Tunggu sebentar" pintanya, lagi-lagi aku hanya terdiam sambil melihat gerak gerik si santri tadi yang sedang mengetok pintu rumah itu
"Assalamualaikum"... tok.. tok... tok... dengan suara khas pintu kayu. Tak lama kemudian terdengar suara seorang laki-laki dari dalam rumah
"Wa'alaikumusallam" suara dari balik pintu.
Setelah pintu terbuka, tampaklah seorang pria kira-kira berumur 55th. berpenampilan penuh wibawa dengan wajah yang berkarisma. santri itu membungkukkan badannya, aku pun mengikuti gerak geriknya.
"Aya naon mang?" Suaranya lembut tak terdengar serak sedikitpun
"Aya sema" (tamu) sambil menunjukku dengan ibu jarinya, aku yang tertunjuk sepontan menghampiri dan menyalaminya dengan badan membungkuk.
"Owh nya nuhun mang" sambil menepuk pundaknya. Lalu santri tadi meninggalkan kami berdua
"Mangga mangga" kemudian mempersilahkanku masuk
"Iya" seraya meletakan tas punggung di samping kardus-kardusku, lalu aku masuk mengikuti langkah kakinya.
Bungkuk disini bukan berarrti karena penyakit tulang punggung yang tiba-tiba rapuh. membungkukkan badan ketika sedang berbincang atau berdiri dekat dengan guru adalah sebuah kebiasaan, sebuah tradisi, sebuah aturan dan bahkan sebuah kewajiban. Seperti yang kita ketahui. nomer satu, pertama dan yang paling utama adalah Adab. Orang yang berilmu tinggi belum tentu beradab baik, namun orang yang beradab baik sudah dipastikan tinggi ilmunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ayna
Teen Fiction(Slow update) Ahza. Nama lengkapku Ahza Al Fariez. Anak dari seorang Abah yang punya Pondok Pesantren. Tapi, bukan bagaimana kau melihat aku sebagai anak seorang Kyai. Karena tetap saja aku adalah anak, yang hanya menggandeng nama besar Abahku. Aku...