Angin berhembus memaksa masuk melalui celah pintu yang terbuka, sejuk segar seperti biasa. Ya pagi itu aku masih di kawani oleh Aang Tuba dan Bunda Rokha. Kami sibuk berbincang antara satu dengan yang lainnya tanpa jeda, tak lama kemudian hordeng pintu yang menuju ruang tenah bergerak-gerak, tampak seseorang berusaha masuk ke ruang tamu yang kita huni. Yah itu Ayna dengan goreangan-nya.
"Sini neng sini bawa sini gorengannya" pinta Aang Tuba kepada Ayna, ayna hanya mengangguk seolah tak mau bicara mengeluarkan suara, mungkin malu karena ada aku, ah atau mungkin memang begitu sifat yang seharusnya di miliki seorang anak dari kiyai tersohor, sedikit bicara banyak bergerak
"Neng mau kemana?" Tanya Aang Tuba, terlihat Ayna tergesa-gesa meninggalkan kami bertiga
"Udah diem disini, gabung sama kita" perintah Aang Tuba
Langkah kakinya berhenti ketika sang ayah memintanya tuk menemaninya
"Isin" jawabnya dengan wajah lucunya yang sedang tersipu malu
"Ah malu sama siapa atuh neng, mg Ahza? Udah ga usah malu-malu, toh mang Ahza juga ga bakal godain neng kalo ada umi sama abi mah" kata Aang Tuba
Sontak saja aku yang ikut mendengarkan bukan kaget lagi, antara kaget, takut bercampur malu semuanya menjadi satu. Aku hanya bisa terdiam menunduk seperti seorang sandra yang tak bisa berbuat apa-apa
"Udah atuh ang, kasian si neng sama mg Ahza nya jadi ga bisa berbuat apa-apa gara-gara salah tingkah" hahahaha Bunda dan Aang pun tertawa bersama, hanya saya dan ayna yang tampak tak berkutik tak bisa apa-apa dan kami berdua di paksa ikut tertawa, walau agak dipaksakan akhirnya saya hanya senyum alakadarnya, berbeda dengan Ayna. Senyumnya terlihat ikhlas lembut manis tak terlihat tanpa paksaan, ah aku semakin terjatuh semakin dalam dan dalam lagi.
Aku tak mengerti kenapa Aang dan Bunda dengan sengajanya membuat saya kehilangan muka di depan Ayna, mungkin kah ini ujian? Kalau ujian kenapa harus aku yang di uji, dan untuk apa ujian ini? Ribuan tanya tanpa jawaban memenuhi isi otak kepalaku membuatku sedikit tak bisa berkonsentrasi dengan baik.
"Mg... mg... mg Ahza!!!" Teriak Aang Tuba
"Eh astagfirullah iya ang" sontak saja jawaban yang sedang ku cari tiba-tiba buyar oleh teguran Aang Tuba yang memanggil namaku
"Eh malah melamun, kopinya di minum mang takut nanti jadi ager" goda Aang Tuba kepadaku
"Hehehe iya ang" seraya mengambil kopi yang disandingkan di depanku
Ahh beginikah kopi buatan Ayna, atau mungkin ini hanya perasaanku saja yang terbawa hanyut olehnya. Rasanya semakin lama aku duduk dengan keluarga ini, semakin akrab seperti tanpa batasan. Terasa sangat harmonis dengan candaan aang Tuba yang sesekali menggoda bunda Rokha. Tak jarang pula beliau memojokkan ku dengan Ayna. Bunda hanya tertawa ketika melihat tingkah laku saya atau Ayna yang di pojok-pojokan oleh aang Tuba.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, dua jam itu menjadi kenangan yang mungkin tak pernah ku lupakan, apalagi sa'at Ayna menatap tajam kedua mataku. Ahhh... aku hanya kagum padanya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah tiga bulan aku di pesantren ini, selama tiga bulan yang kulakukan hanya ikut membantu pekerjaan rumah, seperti menyapu lantai, ngepel dan bahkan ikut membantu bunda menyiapkan bahan pangan untuk memasak di dapur.
Tak terasa pula hubunganku dengan Ayna seperti seorang saudara, hanya saja kami tak pernah akur. Aku yang dengan hobi jail, sering menjaili Ayna, ayna yang dengan hobi manja nya sering mengadukanku pada bunda. Bukannya aku kapok malah tambah greget pula dengan sikap ayna, untungnya bunda tak pernah memarahiku, dan yang ada Ayna semakin jengkel kepadaku.
Di suatu pagi, tepatnya pukul 7. Ketika aku hendak bersiap dengan mushafku
"Mang Ahza, mang... mang... oi mang Azha" teriak teman sekamarku yang sedang piket di luar asrama
Namanya Hamdan, saya menyebutnya "Dun". sama dengan aku, hamdan yang menyembunyikan jati dirinya, hamdan yang dengan segala misterinya. Bedanya aku mengetahui hamdan siapa, namun hamdan tidak tau sedikitpun tentang aku ini siapa.
Hamdan adalah putra terpandang dari seorang putra kiayi tersohor di kota Sukabumi, abah uminya memiliki ratusan santri. Sama denganku, hamdan juga santri baru, kedatangan kami di pesantren ini hanya selisih hari. Tepatnya setalah tiga hari kedatanganku, hamdan datang dengan santrinya yang pengakuan hamdan itu adalah teman nya. Yang padahal santri itu di tugaskkan abahnya untuk ngurus semua kebutuhan hamdan selama di pesantren. Aku mengetahuinya ketika santri itu bercerita kepadaku, supaya aku menjaga sikap dengan Hamdan. Ah iya juga aku dan Hamdan sangat dekat, kami tidak ada batasan layaknya seorang adik dan kaka. Anggap saja aku ini kakanya karena selisih umurku dengan hamdan hanya beda satu tahun.
"Iya dun kenapa" sautku dari jendela kamar
"Di panggil bunda, sekarang katanya mang" teriaknya lagi
"Owh iya iya aku turun" seraya menutup kembali mushafku lalu merapikan nya di lemari kitab
"Dun sandalku mana" tanyaku pada hamdan
"Hehehe ini tak pake"
"Hadeuh..." keluhku
"Sandalmu mana?" Tanyaku lagi
"Ilang lagi mang" sambil sedikit kesal
"Astagfirullah, padahal baru kemarin lusa beli loh dun, kamu taro mana si" ocehanku
"Ga tau mang ah, orang ditinggal sholat di masjid bentar aja langsung lenyap" ia berbicara sambil asik dengan sapunya
"Terus aku ke ndalem pake sandal siapa dun, ayo sini cepet sandalnya mau tak pake" pintaku
"Pake punya badru dulu mang, tanggung nyaman sama sendal kamu kang, tak beli aja tah mang sandalnya" tawarnya
"Yeyy enak aja, jauh belinya itu" seraya meninggalkan hamdan yang sedang asik dengan sapunya
Dari dalam asrama aku berteriak
"mang badru sandalnya tak pake" lalu bergegas keluar asrama"Iya mangga" suara Badru dari dalam asrama
"Cieeee cieee..." goda hamdun ketika aku melewatinya
"Cia cie apa kamu, mau tak jotos sini" rese emang
"Cie cieee mang Ahza, wleee" sambil berlari menjauhiku. Asem banget emang ni anak kalau lagi jail.
"Buodo amatttttttt" teriakku
Ya kami seperti anak kecil ketika sedang rese, padahal umur kami tidak bisa dibilang kecil lagi, yah namanya juga rese. Ga rese ga seru
"Iya bun" kudapati bunda di dapur sedang mencatat catatan di kertas
"Mang anter belanja ke pasar, ini kunci mobilnya. Panasin dulu mobilnya" perintah beliau
Sepuluh menit kemudian keluarlah dua orang wanita dari dalam rumah, setelah ku tengok
"Wah si oggoan ngapain ikut si" gerutuku di dalam mobil
Tiba-tiba pintu depan mobil dibuka dari luar, kaget. Biasanya bunda selalu duduk di bangku belakang. Pintu belakangpun terbuka, ternyata memang bunda yang duduk di bangku belakang, lalu yang membuka pintu depan pasti si oggoan Ayna. Benar saja.
Baru masuk pun langsung
"Apa...!" Ketusnya kepadaku"Huh dasar oggo" celotehku berbisik
"Iihhh ndaaaa itu cobaaaaa" mengadu kepada ibunya
"Ehhh udah duduk yang anteng" kata bunda
Aku menjulurkan lidah meledeknya namun posisi wajahku kedepan agar bunda tak mengetahuinya, Aynapun begitu mengepalkan tangan nya di depan wajahnya agar tak ketahuan oleh bunda bahwa kami sedang berseteru.
Huaahhh ma'afin baru nongol lagi...
Ma'afiinnn baru bisa nulis lagi...
Pokonya ma'af ma'af ma'affff
Penasaran dengan cerita selanjutnya, sumbangin starnya biar akunya tambah semangat buat nulisnya
Ok segitu aja dulu, keburu buntu terus ga update update yakan yakan. Mending sedikit-sedikit tapi sering update hahaha amin lahIllalliqo...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayna
Teen Fiction(Slow update) Ahza. Nama lengkapku Ahza Al Fariez. Anak dari seorang Abah yang punya Pondok Pesantren. Tapi, bukan bagaimana kau melihat aku sebagai anak seorang Kyai. Karena tetap saja aku adalah anak, yang hanya menggandeng nama besar Abahku. Aku...