Angin berhembus pelan, menari membawa hawa sejuk dinginnya daerah pegunungan. Bunyian hewan kecil melengkapi suasana malam yang menjelang shubuh.
Kala itu waktu menujukan pukul 03:00 pagi
"Tronggg.... trongg.... trong...dugg...dugg..dugdug..."
Suara kentrongan bedug memecahkan suasana sunyinya malam, aku terjaga dari tidurku. Dengan masih setengah sadar kedua mataku berusaha mencari-cari jam ding-ding
"Loh masih jam tiga sudah kentrong shubuh" gumamku. Ku tengok kedua teman sekamarku tertidur dengan lelapnya.
"Ya arrhamarrahiminn... irhamnaa..." suara dari atas menara saling saut menyaut. Pondok ini tidak mempunyai spiker. bukan tidak mampu untuk membelinya, melainkan sistem di pesantren ini masih mengikuti adat tradisi jaman dulu yang tidak menggunakan spiker. Tidak mengharamkan, hanya saja jika ingin menggunakan spiker jangan di kawasan pesantren ini. Karena seperti yang tadi bilang, di pesantren ini masih melestarikan budaya sufi, mempertahankan tradisi salaf.
"Ohh... tarhim (doa pujian bacaan seruan sholawat yang dikumandangkan beberapa waktu sebelum adzan menjelang Shalat Subuh) tak kira kentrong shubuh" sambil sedikit membenarkan posisi bantal hitut (bantal yang di buat dengan cara mengumpulkan bebarapa pakaian kotor lalu di buntel/satukan menggunakan kain sarung hingga menjadi bulatan layaknya bantal)
Belum jauh aku terlelap dalam mimpiku lagi, sayup-sayup terdengar suara kayu yang di pukulkan ke bilik.
"Trakk... trakk... trakk... ayo bangun shubuh... shubuh... bangunn" Suara beberapa santri yang sedang berusaha membangunkan kawan santriya yang masih tertidur lelap
Bandung kota pegunungan yang dikapit oleh bukit bukit kecil. Seperti layaknya daerah pegunungan lain, bandung juga terkenal dengan udara dinginnya, ya pagi itu sangat dingin sehingga membuatku takut bertemu dengan air. Bayangkan saja Cirebon kota tempat ku tinggal cuacanya begitu panas dan udara di pagi harinya menurutku standar dan biasa-biasa saja. Namun disini aku merasa seperti suhu udara paginya mencapai 14 derajat cellcius, sama seperti di mesir kala musim dingin yang suhu udaranya bisa mencapai 9 bahkan 8 drajat cellcius.
Usai sholat shubuh para santri membuat beberapa lingkaran kecil, lalu saut menyaut membacakan nadzhoman, dari mulai zurumiyah, qaelani, imriti, alfiyah, jahar al maqnun dan bahkan sulam munawarok saling sentak mengeluarkan suara lantangnya tak mau kalah, sedangkan bagi santri yang tahfidz (menghafal Al-Qur'an) di tempatkan khusus di depan tempat duduk imam dekat mimbar
Aang Tuba masih sibuk dengan tasbeh di jarinya, aku yang sendari tadi tengok kanan tengok kiri masih bingung mau duduk dilingkaran yang mana.
Tiba tiba kawan santri di sebelahku bertanya"Mang santri baru?" Tanya nya
"Iya mang" jawabku
"Mang sudah sowan" tanya nya lagi
"Sudah mang kemarin" ujarku
"Apa kata beliau mang" sambil menunjukan ibu jarinya ke arah Aang Tuba
"Maksudnya" tanyaku tidak mengerti
"Amang disuruh ngafalin apa"
"Engga disuruh ngafalin apa-apa, beliau hanya bilang kalau ingin setoran Al-Qur'an langsung saja kerumah" kataku kepada kawan santri yang sama sekali belum ku kenal
"Wahh seriuss?" Tanya nya sedikit kaget
"Iya serius mang" meyakinkan
"Enggak soalnya gini, biasanya kalau yang tahfidz duduknya di sana depan imam karena begitu Aang Tuba rampung wiridannya mereka langsung setoran sama beliau, kalau yang nadzhom ya tinggal pilih si amang sekarang lagi ngafalin nadzhom apa, nanti tinggal ngikutin aja sama yang lainnya" jelasnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayna
Teen Fiction(Slow update) Ahza. Nama lengkapku Ahza Al Fariez. Anak dari seorang Abah yang punya Pondok Pesantren. Tapi, bukan bagaimana kau melihat aku sebagai anak seorang Kyai. Karena tetap saja aku adalah anak, yang hanya menggandeng nama besar Abahku. Aku...