Ayna~Eps 3

3.9K 153 1
                                    

Pagi yang buta menyita di setiap mata para manusia, lantunan suara adzan berkumandang saut menyaut antar toa. Subuh menyapaku dengan lembut. Embun pagi meneteskan beribu ribu keberkahan bagi yang menunaikan ibadah kepadaNYA.

Setelah selesai menunaikan ibadah sholat shubuh. Aku melanjutkan deresan hafalan Qur'anku. Sudah menjadi kebiasaanku sejak pertama kali aku menghafal Al-Qur'an, waktu di setiap ba'da subuhku, ku habiskan hanya dengan qur'anku sampai terbitnya sang surya yang menyapa.

Selesai nderes, rasanya ingin kutumpahkan semua rasa kangen riduku kepada Umi, yang sejak semalam ku bendung. Apalah daya, kangen dan rinduku telah kalah oleh rasa kantuk dan lelahku, setelah menyelesaikan perjalanan yang begitu membosankan. Misal ketika di pesawat dan ketika di mobil yang perjalanan pulang ke cirebon. Itu saja sudah membuatku bete tanpa aktivitas.

Pada ahirnya kuputuskan juga tuk rebahan sebentar lagi di atas kasur kapukku. Dingin pagi menyapa mataku yang sudah tak kuat menahan kantuk. Udara segarnya menyajikan kebugaran bagi seluruh tubuh ketika terhirup oleh penciuman makhlukNYA. Ah tapi sayang tubuhku sudah tak kuat lagi menahan rasa lelahnya perjalanan yang diam.
Dan akupun kembali terlelap dalam mimpi-mimpiNYA.

Tidak lama kemudian
aku terjaga dalam tidurku, bisingnya suara obrolan para ibu-ibu membangunkan tidur lelapku.

"Ada apa ya kok rame banget" pikirku

Sambil kutarik selimut lembutku lebih ke atas lagi. Sampai tak ada bagian tubuhku yang terlihat oleh mata telanjang.
Aku mencoba memejamkan mata dengan sengaja, ah sudah tak bisa tidur lagi ini mah, kesalku.

Ku tengok keluar, hanya kepalaku saja yang nyangkut di pintu kamarku. Sedang seluruh badanku, kubiarkan tetap di dalam kamar. Aku lalu menguping pembicaraan mereka.

Owh itu suaranya saudara-saudara Umi yang rumahnya dekat dengan rumahku. Ada apaya? Bisa bisanya bikin heboh di pagi pagi begini.
Bersilaturahmikah? Ah bodo amat, sambil kurebahkan lagi tubuhku ke atas kasur.

Setelah 20 menit lebih. Suara-suara obrolan itu ahirnya menghilang juga dari kedua telingaku, yang sedari tadi kututup dengan lipatan bantal yang melingkar di kepalaku. sudah pulangkah? atau Umi sejenak meninggalkan mereka tuk sekedar menyiapkan suguhan ringan kepada mereka?

Karena penasaran, akupun langsung keluar dari kamar kecil minimalisku. Langsung menuju Umi yang ada di dapur. Kulihat sekeliling dapur. Ada Umi yang sedang sibuk dengan pisaunya yang digerakkan untuk memotong bawang merah dan cabai rawit. Dan ada tiga orang santri putri yang sedang membantu umi. mereka semua ada di sekeliling Umi.

"Umi assalamualaikum" sapaku lembut, seraya berjalan ke arahnya dan menyalaminya dengan penuh hormat ta'dzhimku.

"Eeh wa'alaikumsallam...ger" sambil menyambut jabat tanganku.

Akupun menciumi tangan umi sama seperti apa yang kulakukan pada abah. lalu memeluknya dengan sangat erat.

"Duh calon penerus pesantren abah ko baru bangun si" sambil terus memeluk dan menepuk-nepuk pundakku

"Hehehe ma'afin Ahza ya mi. baru bisa nemuin Umi sekarang" kataku, dengan air mata bahagia yang hampir saja kutumpahkan di depan santri-santri Abah dan Umi.

"Udah-udah. malu tuh diliatin santri-santri cantik" goda Umi, sambil menujuk ke arah mereka. Yang sedari tadi hanya terdiam dan menunduk.

"Ah Umi. Untung aku sudah terlanjur malu" godaku, seraya melepaskan genggaman tanganku dari pelukan Umi.

"Ya udah sini duduk bareng Umi. Temenin Umi ngabisin teh dan sarapannya" perintah Umi.

aku dan Umipun pergi meninggalkan tiga orang santri putri yang sedari tadi masih menundukan kepala. Mungkin karena mereka malu kalau harus langsung melihat wajahku atau wajah Umi. Atau bisa jadi mungkin karena mereka sangat memahami adab dan tatakrama murid kepada gurunya. Yaitu si sudah menjadi tradisi dan sudah mendarah daging bagi kaum santri yang berilmu.
Seperti hadits Nabi S.A.W yang menerangkan,

AynaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang