Past (1)

21 5 4
                                    

"Kau dapat undangan bersekolah di MA? Apa tidak salah?" cerca Ivor Pieter, anak laki-laki 8 tahun yang berambut pirang dengan pipi merah berbintik.

"Tidak mungkin!" seru bocah laki-laki yang lebih kecil dan berambut gelap. "Jelas-jelas tulisannya Libra Oliver Pieter. Itu namaku!"

"Siapa yang bilang?"

"Pak Tim bilang begitu."

"Pak Tim pasti membohongimu," Ivor tak kalah.

"Kau baca saja sendiri suratnya!"

Ivor menepis kasar tangan Libra kecil. "Untuk apa aku repot-repot membacanya?"

"Kau belum lancar membaca, iya, kan? Kau juga iri karena tidak pernah lolos tes untuk sekolah di MA, kan?"

PLAAKK!!!

Tubuh kecil Libra terhempas begitu saja ketika dipukul oleh anak laki-laki pirang lain yang usianya jauh lebih tua. Gamma Pieter, tahun ini dia menginjak 12 tahun.

"Begitu caramu bicara pada kakakmu? Dasar tidak tahu sopan santun!" hardik Gamma.

Ivor serta merta merebut kertas di tangan Libra, bahkan tanpa ada niat membantu anak kecil tersebut bangkit.

Ivor menunjukan kertas tersebut pada Gamma. Wajah Gamma awalnya merah masak setelah membaca surat tersebut. Tapi ia kemudian menarik salah satu sudut bibirnya.

"Kita lihat reaksi Ayah mengetahui hal ini," ujar Gamma seraya berlalu membawa surat tersebut.

"Cengeng! Payah!" ejek Ivor pada Libra sebelum mengejar Gamma.

Libra kecil tertatih bangkit dan menyeka air matanya. Sebelah pipinya memerah bekas tamparan Gamma.

...

"Apa kau mencoba melampaui kakak-kakakmu?" tanya pria berambut pirang mengintimidasi.

"Tidak, Ayah. Aku—"

"Katakan, apa yang kau lakukan? Kenapa kau sampai bisa mendapat ini?"

"Surat itu tiba-tiba jatuh dari langit saat aku menyiram tanaman...."

"Katakan dengan jujur!"

"Aku tidak berbohong, Ayah." Libra kecil mundur ketakutan. Tuan Pieter memegang sebuah rotan penyengat ditangannya, siap menghukum anak kecil berambut gelap yang ketakutan itu.

"Kau tahu seberapa sulitnya masuk MA? Bahkan kedua kakakmu tak ada yang lulus dalam ujiannya, apalagi mendapat undangan!"

PLAAK!!

"Ayah!!! Sakiit!!!" jerit Libra kecil.

"Kalau kedua kakakmu tidak bersekolah di Magacia Axiple, maka kau juga tidak!" bentak pria pirang tersebut galak.

Pukulan rotan penyengat jauh lebih sakit daripada rotan biasa. Rasanya seperti benar-benar tersengat, sangat perih setelah beberapa waktu. Libra sudah sering dipukul dengan rotan penyengat. Namun bukan berarti ia terbiasa.

Dua pirang bersaudara, Gamma dan Ivor tersenyum lebar melihat adik bungsu mereka dihukum.

"Ayah, apa salahku?" tangis Libra.

"Apa salahmu? Tentu saja kau salah karena kau telah lahir!" Gamma menjawab dengan nada menyakitkan.

"Tapi...," lirih anak kecil itu. "Aku tak pernah minta dilahirkan...."

"Dasar anak tak tahu diuntung!" suara Tuan Pieter meninggi.

Rotan penyengat itu beberapa kali melayang pada tubuh mungil Libra kecil. Jerit dan tangis pilunya memenuhi ruangan.

.
.
.
.
.

"Ah!" Libra terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah terbaring di bangsal sekolah.

Libra mengatur napasnya yang tersenggal sebisa mungkin.

Yang barusan itu... ingatan masa lalunya tiba-tiba masuk ke dalam mimpinya entah kenapa.

Setelah beberapa detik, Libra baru menyadari kalau ia tak sendirian. Virgo, gadis itu tertidur di sisian ranjangnya.

Jangan-jangan, Virgo menunggu di sana sejak sore.

***

500- word.
Ini latar waktunya pas Libra masih dirawat itu ya. Aku lupa masukin.

Btw, tadinya kedua kakak Libra mau aku kasih nama Eden dan Hades :3. Tapi keduanya tidak ada yang berperilaku baik. Jadi namanya kuganti dengan nama yang sedikit lebih normal.

Makasih!

26 Juni 2019


Magastical (Versi Lama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang