1 - Putera Mahkota (3)

570 13 0
                                    

***

Cuplikan akhir bagian 2...
"Tetapi kau jangan mempercayai aku. Aku tidak mempunyai ketajaman penglihatan dan ingatan seperti seorang prajurit atau petugas-petugas apapun. Aku hanya sekedar seorang cantrik padepokan yang tidak berharga"

"Bukan kau yang menentukan. Tetapi persoalan yang kau lihat itu"

Orang itu, salah seorang cantrik dari padepokan di Lulumbang, tidak segera menyahut. Dadanya masih saja diamuk oleh keragu-raguan yang sangat. Kalimat demi kalimat yang sudah tersusun dan terkumpul di bibirnya. tiba-tiba ditelannya kembali.

***

"Lebih baik aku tidak mengatakan sesuatu, Agni" berkata orang itu kemudian, "Biarlah aku minta diri. Datanglah sering ke Lulumbang, agar padepokan itu tidak menjadi terlalu sepi sepeninggal Empu Gandring"

Tetapi Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku bukan anak-anak lagi. Aku dapat menimbang, mana yang baik dan mana yang buruk. Karena itu, katakanlah"

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam.

"Aku tidak mau. Karena kesalahan penglihatanku, Tumapel menjadi keruh kembali"

"Katakan. Katakan" desak Mahisa Agni.

Dada cantrik itu bergelora dahsyat sekali. Hampir saja ia tidak dapat menahan diri, sehingga syarafnya benar-benar terpengaruh oleh persoalan yang disimpannya.

"Jagalah dirimu sendiri" bisik Mahisa Agni, "Kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tekanan perasaanmu siang dan malam. Tetapi apabila hal itu sudah kau katakan, maka apapun akibatnya, namun dadamu akan menjadi lapang"

"Apakah aku harus mementingkan diriku sendiri?" ia bertanya.

"Apakah kau yakin bahwa akibatnya akan selalu jelek?"

"Ya"

"Kau salah sangka. Sekali lagi aku katakan, kalau hal itu kau anggap rahasia, aku akan merahasiakannya. Kalau kau keliru, aku akan membantu menemukan kebenarannya, kalau aku mampu"

Sekali lagi cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, "Baiklah Agni, tetapi mudah-mudahan aku keliru atau kau tidak mempercayainya"

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Dibiarkannya cantrik itu menelan ludahnya, kemudian berkata tersendat-sendat, "Agni. Menurut penglihatanku, orang yang bernama Ken Arok itulah yang pernah datang ke padepokan Empu Gandring pada saat Empu Gandring terbunuh"

"He" serasa darah Mahisa Agni terhenti sesaat. Dipandanginya cantrik itu dengan tajamnya, sehingga kepalanya tertunduk dalam-dalam.

Mahisa Agni tersadar ketika ia mendengar cantrik itu berkata, "Mudah-mudahan aku keliru"

Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang untuk menenangkan gejolak di dalam dadanya. Kemudian ia berdesis perlahan-lahan, "Tetapi bukankah orang yang datang waktu itu ke padepokan memakai kalung yang berwarna kekuning-kuningan"

Bara Di Atas SinggasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang