***
Cuplikan akhir bagian 4...
"Kau bermalam di istana saja Kakang" berkata Ken Dedes seterusnya.Mahisa Agni mengangguk.
"Hamba Tuan Putri" jawabnya, "memang tidak ada tempat yang lebih baik daripada istana ini. meskipun di sudut yang paling tersembunyi. Tetapi bagaimanakah apabila pada suatu saat hamba datang bersama seorang kawan hamba? Apakah kawan hamba itu pun diperkenankan bermalam di istana ini pula?"
"Tentu Kakang. Tidak ada keberatan apapun. Aku dapat memberinya izin"
"Terima kasih" jawab Mahisa Agni yang tiba-tiba sekilas di dalam ingatannya untuk membawa cantrik itu pula ke Singasari.
***
Ternyata titik-titik air mata Ken Dedes telah dengan perlahan-lahan memanaskan darahnya meskipun ia masih tetap mencoba berpikir sebaik-baiknya. Ia masih tetap mencoba melihat segala segi dari kepentingan yang jauh lebih besar dari kepentingan-kepentingan pribadi. Meskipun demikian ia berkata di dalam hatinya, "Mungkin pada saatnya aku memerlukannya untuk mengetahui siapakah sebenarnya pembunuh paman Empu Gandring"
Dan ternyata keinginannya untuk itu semakin lama justru menjadi semakin kuat. Ketika kemudian ia meninggalkan ruang dalam dan di antara langsung ke dalam bilik penginapannya di sudut bangsal belakang, niat itu justru menjadi semakin berkembang.
"Kasihan anak itu" desisnya, "Seolah-olah sepanjang hidupnya selalu dibayangi oleh mendung yang kelam"
Ken Arok yang kemudian diberi tahu akan kehadiran Mahisa Agni menjadi berdebar-debar pula. Ia tahu benar, bahwa Mahisa Agni bukanlah sekedar anak pedesaan Panawijen kebanyakan. Mahisa Agni ternyata memiliki tidak saja kemampuan jasmaniah, tetapi ia pun termasuk seorang anak muda yang mempunyai kemampuan berpikir yang kuat.
Tetapi Ken Arok adalah seorang yang bijaksana. Karena itu, ketika terluang waktu baginya, dalam sidang yang tidak terlalu banyak persoalan, segera ia memanggil Mahisa Agni menghadap.
"Begitu lama kau tidak datang Agni?" Ken Arok bertanya.
"Hamba Tuanku" jawab Mahisa Agni, "Hamba terlampau sibuk dengan pekerjaan hamba di padukuhan"
"Ah" Ken Arok berdesah, "Seandainya aku tidak terikat oleh tata kehidupan istana, aku sama sekali tidak menghiraukan jenjang-jenjang sebutan seperti itu"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejak Ken Arok menjadi seorang akuwu, ia sudah mempergunakan sebutan resmi dalam hubungan pribadi mereka. Namun baru sekarang Ken Arok menyebut kejanggalan itu. Sebagai dua orang yang pernah berada di dalam satu lingkungan kerja yang besar, jarak yang tiba-tiba saja membatasi mereka dalam jenjang kedudukan itu memang terasa janggal. Tetapi kenapa Ken Arok baru menyadarinya sekarang?
"Sebenarnya aku lebih senang hidup tanpa hubungan resmi yang mengikat seperti ini" berkata Ken Arok, "Keharusan-keharusan resmi seorang raja ternyata menjemukan sekali bagiku, bagi seorang yang biasa hidup di alam terbuka"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara Di Atas Singgasana
Historical FictionBara Di Atas Singgasana Cerita silat, lokal, jawa, fiksi sejarah Buah karya mendiang bopo Singgih Hadi Mintardja / SH Mintardja Mohon bersabar bila dirasa agak lambat update :) Vote & Comment ya, biar tetap semangat lanjut