***
Cuplikan akhir bagian 8...
"Angger tidak terlampau lelah""Aku masih segar. Aku dapat berangkat sekarang.. Aku dapat berjalan terus tiga hari tiga malam kalau diperlukan"
"Mungkin Angger yang sedang dikejar oleh perasaan sendiri dapat berbuat demikian. Tetapi kuda Angger akan kepayahan"
"Ya, Kiai. Kudaku memang perlu beristirahat. Tetapi tidak sampai sehari apalagi dua hari"
***
Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat perasaan Mahisa Agni yang tersiksa. Ia merasa wajib untuk segera bertemu dengan Witantra.
Karena itu Panji Bojong Santi tidak sampai hati untuk memperpanjang siksaan batin Mahisa Agni itu. Karena itu, maka ia pun segera memanggil seorang cantriknya yang pernah pergi ke tempat Witantra untuk mengantarkan Mahisa Agni.
Maka ketika matahari terbit di keesokan harinya, berangkatlah Mahisa Agni diantar oleh seorang cantrik menempuh perjalanan yang berat untuk menemui Witantra. Panji Bojong Santi melepaskannya tanpa waswas karena ia pun sudah yakin pula, bahwa Witantra pasti cukup dewasa menanggapi persoalan itu. Witantra pasti tidak akan sekedar dibakar oleh dendam. Ia akan dapat menanggapi keadaan sewajarnya.
Bersamaan dengan itu, Panji Bojong Santi telah menyuruh seorang cantriknya untuk memanggil Mahendra. Mahendra yang kini hidup di dunianya sendiri. Ia mencoba untuk hidup menjadi manusia kebanyakan, dengan kerja dan usaha, mendirikan rumah tangga.
Tetapi Panji Bojong Santi masih belum yakin, bahwa Mahendra dapat melupakan persoalan Kebo Ijo seperti halnya Witantra. Mahendra yang lebih muda dari Witantra dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, mungkin akan menentukan sikap yang lain.
"Aku harus memberitahukan kepadanya, bahwa ia tidak boleh berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri" berkata Panji Bojong Santi di dalam hatinya, "ia harus dapat menanggapi keadaan ini dengan hati yang lapang"
Sementara itu. Mahisa Agni yang berpacu bersama seorang cantrik kini telah mulai menerobos hutan belukar. Kadang-kadang mereka terpaksa berhenti sejenak, bahkan turun dari kuda-kuda mereka untuk merambah sulur-sulur yang melintang di jalan setapak yang mereka lalui.
"Jalan ini tidak pernah dilalui orang" berkata cantrik itu, "Sebenarnya aku takut berjalan hanya berdua saja lewat jalan ini"
"Kenapa?" bertanya Mahisa Agni.
"Kalau ada penyamun yang kebetulan melihat kita lewat, maka celakalah kita. Kalau bekal kita saja yang dimintanya, beruntunglah kita. Tetapi kalau ini?" cantrik itu menunjuk lehernya.
Betapapun ketegangan membelit hati Mahisa Agni, namun ia sempat juga tersenyum sambil berkata, "Jangan takut tidak ada penyamun yang akan mencegat perjalanan kita. Kita tidak membawa apapun yang berharga"
"Tetapi mereka tidak tahu bahwa kita tidak membawa barang berharga. Setidak-tidaknya kuda kita dapat mereka rampas dan mereka ambil"
"Jangan takut" desis Mahisa Agni, "karena itu, marilah kita berusaha secepat-cepatnya meninggalkan tempat ini"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara Di Atas Singgasana
Historical FictionBara Di Atas Singgasana Cerita silat, lokal, jawa, fiksi sejarah Buah karya mendiang bopo Singgih Hadi Mintardja / SH Mintardja Mohon bersabar bila dirasa agak lambat update :) Vote & Comment ya, biar tetap semangat lanjut