2 - Anusapati (13)

463 11 2
                                    

***

Cuplikan akhir bagian 12...
"Mahendra pernah tinggal bersama Witantra beberapa saat"

Sekali lagi Mahisa Agni mengangguk. Tiba-tiba saja cantrik itu bertanya, "Apa sebenarnya kepentinganmu dengan Witantra?"

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa"

***

Cantrik itu menarik nafas. Tentu ia tidak percaya bahwa seseorang menempuh jalan sejauh itu tanpa suatu keperluan yang penting. Tetapi cantrik itu mengerti, bahwa Mahisa Agni tidak ingin mengatakan kepentingannya kepadanya, sehingga karena itu, maka ia-pun tidak bertanya lagi.

Sejenak mereka menyelusur jalan di hutan yang tidak terlampau lebat itu sambil berdiam diri. Sekali-sekali Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menenteramkan hatinya yang mulai berdebar-debar. Ia menjadi ragu-ragu, apakah Witantra dapat menanggapi kedatangannya dengan sikap yang lebih dewasa. Kalau dendam atas kematian adik seperguruannya dan kekalahannya itu masih tetap menyala di hatinya, maka ia akan menghadapi keadaan yang sulit. Dalam keadaan yang sewajarnya, mungkin ia tidak akan gentar menghadapinya. Bahkan ia masih dapat percaya kepada dirinya sendiri bahwa Witantra betapa jauh jangkaunya namun ia tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah. Kalau Witantra berhasil mempelajari ilmunya hampir sempurna, seperti gurunya Panji Bojong Santi. maka ia sudah berhasil mencapainya lebih dahulu.

Bahkan selama ini ia masih juga sempat merenungi ilmunya, sehingga ilmu itu menjadi kian matang. Ilmu yang didasari oleh perguruan Empu Purwa, ditambah dengan luluhnya ilmu Empu Sada dan penemuannya sesudah itu, berdasarkan kedua ilmu itu. pasti tidak akan mudah dilampaui oleh Witantra.

Tetapi ia tidak akan dapat mempergunakan ilmunya. Ia datang untuk mengakui semua kesalahannya dan untuk meminta maaf kepadanya. Sudah tentu ia tidak akan melibatkan diri ke dalam kesalahan yang lebih besar lagi.

"Tetapi bagaimana kalau Witantra tidak dapat mengerti perasaannya?" pertanyaan itu kini telah membelit hatinya.

"Panji Bojong Santi mengenalnya dengan baik. Kalau ia tidak berpendapat bahwa Witantra akan mengendapkan perasaannya, maka ia tidak akan membiarkan cantrik ini mengantarkan aku"

"Meskipun demikian Witantra adalah manusia biasa. Ia tidak akan luput dari kekurangan dan kekhilafan"

Ternyata pendirian itu telah membuat dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar.

Meskipun demikian Mahisa Agni berusaha menyembunyikan semua kesan-kesannya, sehingga cantrik yang bersamanya itu sama sekali tidak dapat meraba apa yang terpercik di hatinya.

Demikianlah maka untuk sesaat mereka saling berdiam diri. Semakin lama mereka menjadi semakin dekat. Hutan yang mereka lalui menjadi semakin jarang. sehingga akhirnya, mereka telah melintasi hutan perdu dan ilalang.

Dengan demikian maka kuda-kuda mereka dapat berlari semakin kencang. Sedang matahari menjadi semakin tinggi memanjat kaki langit.

Ketika bayangan mereka telah tepat terinjak di bawah kaki mereka berhenti sejenak pada sebuah mata air yang kecil untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum sejenak, sambil berteduh di bawah sebatang pohon yang rindang.

"Kita akan menempuh jalan yang melewati gunduk-gunduk yang keputih-putihan itu" berkata cantrik kawan seperjalanan Mahisa Agni sambil menunjuk segunduk padas putih di hadapan mereka.

Keduanya membiarkan kuda mereka makan rerumputan hijau sejenak, sementara keduanya menyeka keringat mereka yang membasahi seluruh tubuhnya.

Tetapi mereka tidak beristirahat terlampau lama. Sejenak kemudian mereka-pun telah berada di punggung kuda masing-masing, dan berpacu lebih cepat lagi. Tetapi jalan kini sudah menjadi semakin baik. Mereka tidak lagi diganggu oleh pepohonan yang merambat, melintas di atas jalan yang mereka lalui. Kini jalan seakan-akan terbuka meskipun tidak terlampau baik.

Bara Di Atas SinggasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang