2 - Anusapati (14)

240 11 2
                                    

***

Cuplikan akhir bagian 13...
Mahisa Agni menggeleng, "Aku tidak bersenjata karena aku memang tidak ingin berkelahi Witantra"

"Jangan omong kosong. Cepat, sebelum aku berkeputusan membunuhmu"

Tetapi sekali lagi Mahisa Agni menggeleng, "Aku tidak bersenjata"

Witantra mengerutkan keningnya. Tiba-tiba dicabutnya sebuah pedang yang tergantung di lambungnya. Tanpa disangka-sangka dilemparkannya pedang itu kepada Mahisa Agni, "Pakai senjata itu"

***

Sekilas jantung Mahisa Agni disambar oleh keragu-raguan. Pedang itu meluncur terlampau cepat, sehingga waktunya untuk menimbang dan mengambil keputusan terlampau pendek. Tetapi karena kedatangannya memang sudah dilambari oleh kebulatan tekadnya untuk tidak membuat masalah baru, maka pada saatnya Mahisa Agni telah mengambil sikap. Tangannya yang sudah bergetar, sama sekali tidak bergerak untuk menangkap tangkai pedang yang meluncur di sampingnya. Dipandanginya saja pedang yang jatuh di tanah, beberapa langkah dari kudanya.

Sementara itu cantrik yang membawanya menjadi semakin heran. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dihadapinya. Sejenak dipandanginya pedang yang tergolek di tanah itu dengan mata yang hampir tidak berkedip.

"Kenapa Mahisa Agni tidak memungutnya?" desisnya di dalam hati.

Tetapi Mahisa Agni benar-benar tidak memungutnya. Ia masih tetap duduk di punggung kudanya.

"Agni" berteriak Witantra, "kenapa tidak kau tangkap pedang itu?"

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak memerlukannya"

"He" Witantra membelalakkan matanya, "Kau benar-benar sombong. Kau sudah menghina aku untuk kesekian kalinya. Kau sangka kau sekarang dapat mengalahkan aku tanpa senjata"

"Bukan begitu. Maksudku, aku tidak memerlukannya karena aku memang tidak berhasrat sama sekali untuk berkelahi"

"Persetan" Witantra menggeram, "Aku akan segera mengambil sikap. Aku akan membunuhmu. Melawan atau tidak melawan"

"Kalau itu jalan yang paling baik yang dapat kau tempuh Witantra, lakukanlah"

Witantra terdiam sejenak. Direnunginya wajah Mahisa Agni sejenak.

"Kau benar-benar tidak ingin berkelahi?" bertanya Witantra.

"Sudah aku katakan, aku tidak berniat untuk berbuat apapun di sini"

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia membuka ikat pinggang kulitnya yang tebal berikut pedangnya. kemudian dilemparkannya ikat pinggang itu sambil berkata, "Aku memang sudah menyangka, bahwa kau sekarang sudah menjadi semakin masak"

Mahisa Agni serasa telah terpukau oleh sikap Witantra itu. Sejenak ia mematung. Detak jantungnya seakan-akan terhenti dan justru karena itu ia menjadi sangat bingung.

Bukan saja Mahisa Agni yang kebingungan. Tetapi cantrik yang datang bersamanya itu-pun sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Sambil menggelengkan kepalanya ia menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia melihat beberapa buah kepala yang tersembul dari balik regol dan pagar-pagar batu. Agaknya beberapa orang dari padukuhan terpencil itu lagi mengintip, apakah yang sebenarnya sudah terjadi di depan halaman rumah Witantra itu. Apalagi Witantra bagi orang-orang di sekitarnya dianggap sebagai seorang tetua dari padukuhan yang kecil itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bara Di Atas SinggasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang