"Jelas aku kecewa. Di saat kalian memutuskan untuk memasing-masingkan diri, sedangkan aku di sini, belum terbiasa sendiri."
-Rainaryza Samudra-
.
Seorang gadis kecil dengan selembar kertas di tangannya baru saja menginjakkan kaki di halaman rumah yang luas. Ia turun dari mobil yang dikendarai oleh supir, setelah pulang dari sekolah. Rambutnya yang diikat ekor kuda berayun ke sana kemari seiring dengan langkah kaki kecilnya.
Senyum tak luput mengembang di bibir gadis itu, seakan-akan dapat merobek pipinya yang bulat, matanya ikut menyipit, seolah ini adalah hari paling bahagia untuknya.
Bagaimana tidak? Di sekolah tadi, gadis itu menerima kabar bahwa dia mendapatkan juara umum pertama seangkatan di sekolahnya, selepas beberapa hari lalu bergelung dengan tumpukan soal ujian. Sudah pasti posisi itu didambakan oleh setiap orang, bukan? Dan sekarang dia telah mendapatkannya—ya, walaupun piagam di dinding rumahnya juga menampilkan hal serupa.
Gadis tersebut makin mempercepat langkahnya saat mendekati teras rumah.
"Assalamu'alaikum, ayah ... bunda! Aku pulang!" salamnya seraya berteriak. Tak mendengar satupun jawaban—ia pun melengos masuk.
PRANG!
Lipatan di dahi gadis kecil tersebut terlihat tatkala terdengar suara bantingan benda dari kamar orangtuanya, dengan langkah tergesa dan perasaan khawatir, ia lantas mendekat. Kamar kedua orangtuanya begitu gaduh, terdengar suara yang makin meninggi.
"Jangan!"
Merebak suara jeritan yang begitu ia kenal—bundanya. Ia bingung, tak biasa juga rumahnya lenggang seperti ini.
Dengan senyum yang kembali merekah ia sedikit membuka pintu kamar orangtuanya. "Ayah! Bunda! Aku ranking sat—"
Pemandangan yang disuguhkan di hadapannya saat ini menginterupsi ucapannya. Benda-benda yang berserakan, pecahan kaca di mana-mana, dan yang paling utama—jeritan bundanya yang terlampau pilu terdengar.
Gadis itu tertegun, seketika senyuman di bibir tipisnya luntur. Tenggorokannya bahkan terasa kelu, tak bisa berkata apa-apa. Dengan tangan gemetar ia semakin membuka lebar pintu, kakinya maju selangkah kala mendengar suara bundanya yang bergetar, lalu berubah menjadi isak tangis.
Matanya terpejam erat manakala melihat telapak tangan ayahnya menyentuh pipi sang bunda dengan keras dibarengi bunyi yang memekakkan. Jemarinya semakin gemetar diikuti pijakan kaki yang turut melemah. Tubuh kecil gadis itu membeku, ingin rasanya ia segera berlari memeluk kedua orangtuanya, lalu berbisik—menyuruh mereka berhenti beradu mulut. Namun, yang dipikirkan tak sesuai, kenyataannya ia masih mematung kebingungan, tanpa tahu harus berbuat apa.
"Aku mau kita cerai!"
Dunianya terhenti. Perkataan yang keluar dari bibir ayahnya seakan-akan membuat pasokan udara di sekitar habis, napasnya semakin sesak. Dia bukan anak kecil lagi, ucapan itu sudah sangat ia pahami.
"Ay—ayah! Bun—da! Ja—jangan!" lirihnya memohon. Tangannya meremas kuat rok sekolah yang dikenakannya. Kepalanya menggeleng, berharap semua yang terjadi saat ini hanyalah mimpi.
Seolah mendengar ucapan sang anak, kedua paruh baya tersebut berbalik. Ayah sang gadis terlihat berjalan mendekat, lalu dengan cepat mendekap tubuh rapuh gadis mungil tersebut. Sedangkan bundanya hanya bisa menangis tersedu-sedu di lantai, menyaksikan detik demi detik perpecahan nyata itu.
Dengan tubuh yang semakin gemetar, gadis itu balas mendekap ayahnya, tak kalah erat. Ia merasakan elusan lembut di punggungnya—namun tetap saja tak berhasil menormalkan perasaannya sekarang.
Anggap saja ia bodoh, menganggap ini hanya prank semata yang dibuat orangtuanya sebagai kejutan untuk pencapaiannya seperti di semester-semester lalu, atau bahkan surprise merayakan ulang tahunnya—tapi tunggu, hari kelahirannya saja masih dua bulan lagi.
"Sudah takdir sayang," tandas pria baruh baya itu dengan lembut sembari memberi jeda. "Sekarang kamu harus milih, kamu mau ikut ayah atau bunda?" Lelaki hampir setengah abad tersebut bertanya seraya menangkup wajah gadis kecil yang terlihat kian memerah.
Sang gadis dengan segera menggeleng, lalu mengalihkan pandangan ke arah bundanya yang terisak semakin keras. Tak terasa, air matanya yang dibendungnya sedari tadi pun meluruh, bulir-bulirnya mengalir dengan deras, bak aliran sungai yang semakin lama semakin laju. Bukan ini yang ia inginkan, mustahil kata itu yang mau ia dengar.
Gadis tersebut lagi-lagi menggeleng, lalu menatap ayahnya dengan tatapan memohon, berusaha agar sang ayah menarik kata-katanya itu. Melihat lelaki paruh baya itu terus mengangguk, gadis mungil tersebut lantas menyentakkan tangan yang masih bertautan dengan miliknya.
Kaki kecilnya melangkah mundur dengan perlahan. Netranya menatap tak percaya pada sang ayah. Buku-buku jari tangannya bahkan mengepal kuat. "Ayah! Bunda! Jahat! Rain benci!" Ia meraung dengan jeritan berusaha mengalihkan segala pikiran buruk yang akan terjadi. Genggaman kertas di tangannya pun melemah, membuat kertas yang sedari tadi ia bawa terbang terseret angin.
"Ayah, bunda ... udah enggak sayang lagi sama Rain," desis gadis itu terdengar sangat lirih, cermin di kedua matanya kian memecah, membuat penglihatannya sedikit mengabur.
Gadis itu lantas berbalik, lalu dengan gerakan cepat ia berlari dari kamar tersebut, meninggalkan kedua orangtuanya yang menatap kepergiannya dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.
Setelah peristiwa itu, kata yang diucapkan sang ayah akan selalu membekas dan jelas tak akan pernah bisa ia lupakan. Kata yang terlontar saat sang mentari bersinar dengan cerahnya, sangat berbanding terbalik dengan tubuh lemah nan rapuh miliknya. Ia tak tahu apa sebab kedua orangtuanya bertengkar hebat, ia tak tahu siapa yang mengkhianati, pun sebaliknya. Ia hanyalah seorang anak kecil yang harus mencerna semuanya seorang diri.
Dari kejadian itu pula, ia belajar bahwa bahagia dan sedih harus dirasakan dengan porsi yang seimbang—bahagialah secukupnya dan bersedihlah sekenanya. Karena, jika salah satu opsi berlebihan, maka setelahnya akan ada balas perasaan yang jauh berlebihan pula.
———
A/N:
Ini bukanlah akhir, melainkan awal dari kisah Rain, persiapkan diri kalian ... karena setelah ini, kisah sesungguhnya akan dimulai.
@meysarunii
meysaberkisa
9 Juli 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Wound in the Rain
Teen FictionRainaryza Rinai Putri Samudra. Seperti namanya, ia selalu dituntut untuk menjadi peneduh bagi orang-orang di sekelilingnya, hujan. Wujudnya nyata, namun berkali-kali dihancurkan. Selalu sumringah layaknya seorang penipu mahir, padahal hatinya sedan...