"05"

43 2 8
                                    

Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Rumah Ryan yang jaraknya hanya 3 blok dari rumah Rose, terasa sangat jauh. Ryan pun menengok ke arah Rose, dilihatnya Rose yang sedang mengamati langkah kakinya. "Kenapa ibunya memperbolehkannya menginap di rumahku?" ujar batinnya. Tiba-tiba keluar pemikiran dari dalam diri Ryan, "Apa ibunya memperbolehkan Rose menginap di rumah tiap laki-laki yang ia jumpai?"

Memikirkan hal itu membuat langkah kaki Ryan terhenti. Yang membuat Rose bingung. "Lu kenapa?" tanya Rose menghampiri Ryan yang ada di belakangnya. "Ha? Ohh ngga kok" balasnya setelah terbangun dari lamunannya. Mereka pun kembali berjalan berdampingan. Suasana yang sunyi itu pun kembali. Ryan pun memberanikan diri dan bertanya pada Rose, "Emang mami lu bolehin lu nginep di rumah cowo?", Rose terdiam sebentar mendengar pertanyaan Ryan. "Ngga" jawabnya singkat. "Terus.. kenapa lu boleh nginep di rumah gua?" tanya nya lagi. "Hmm.. mungkin.. mami gua udah percaya sama lu.. dia tahu kok lu itu orang baik-baik." jawab Rose jujur.

Mendengar jawaban itu Ryan pun tersenyum. "Kita sampai!" sahut Ryan, yang menghentikan langkah kaki Rose. Dilihatnya rumah bertingkat 2 dan taman berbunga di luarnya. Rose tercengang melihat rumah Ryan yang begitu indah. Dibandingkan dengan rumahnya yang terlihat berantakan dan tidak terawat.

Ryan pun mengulurkan tangannya, mengarahkan Rose masuk ke rumahnya. Ketika ia memasuki rumah itu, suasananya berbeda. Lebih seperti seorang laki-laki yang hidup sendiri, dibandingkan hidup berkeluarga. "Mana papi—mami lu?" tanya Rose. "Ngga tau" jawab Ryan singkat. Rose pun hanya mengangguk dan terdiam. "Ayo, lu bakal tidur sini nanti!" ujar Ryan sambil menaiki anak tangga. Rose mengikutinya sambil melihat sekeliling, dilihatnya banyak barang antik dan artsy, banyak lukisan yang tergantung di dinding rumah itu.

"Nih, kamar lu buat malem ini!" ujar Ryan. "Ohh iya.. thanks" balas Rose sambil menaruh tasnya di atas tempat tidur. "Lu laper ngga?" tanya Ryan. "Iya hehehe.. ada makanan ngga?" balas Rose. "Makanan pasti ada! Lu mau apa?" tanya Ryan. "Hmm.. ayam.. kayaknya boleh deh!" jawab Rose, "Ok" balas Ryan. "E-h ngga deh gua bosen.." katanya lagi. "Jadi...?" tanya Ryan. "Buah... eh jangan ntar ngga kenyang.. kalo mie instan..".

Ryan hanya berdiri menunggu jawaban Rose sambil menyenderkan punggungnya ke dinding. Sudah kurang lebih 15 menit dan Rose masih belum dapat memutuskan ingin makan apa. "Woi!" teriak Ryan mengejutkan Rose yang sedang berpikir. "Lu mikir lama amat dah! Makan apa jadinya?" tanya Ryan ngga sabaran. "Hmm.. terserah deh.." jawab Rose. Ryan mencoba membuka mulutnya untuk mengeluarkan kata-kata, tapi dirinya terlalu kesal. "Lu tuh ya.. 15 menit lebih mikir.. akhirnya terserah! Gi mana sih? Kalo kayak gitu.. gua tadi udah makan!" balas Ryan kesal. Rose hanya bisa tersenyum malu dan merasa bersalah.

Ryan pun keluar dari kamar itu dan turun ke dapur. Rose mengikutinya. "Lu mau ngapain?" tanya Rose. "Mau masak lah!" jawab Ryan cepat. "Gua aja.. gua ngerasa bersalah.. hehehe" ujar Rose terlihat merasa bersalah. "Yaudah! Tapi harus enak! Perut gua udah keroncongan!" balas Ryan. Rose pun mulai menyiapkan bahan-bahan. Dirinya mulai memotong sayuran dan mengambil daging beku dari dalam kulkas Ryan. Ryan hanya mengamatinya sambil duduk.

Rose mulai memotong daging yang telah ia diamkan, rambutnya yang panjang itu mengganggunya, ingin ia ikat rambutnya, namun tangannya yang kotor itu membuatnya kesulitan. Tiba-tiba dari belakang terasa Ryan yang mengangkat rambutnya dan mengikatnya menggunakan karet dapur. Rose sempat tersentak dan terdiam. "Nah, gini kan lebih enak!" ujar Ryan sambil mengarahkan pandangannya pada Rose. "Ha? Ohh iya.. thanks" jawab Rose sambil tersenyum.

Makanan yang ia siapkan itu pun akhirnya selesai ia buat. Ia pun memberikannya pada Ryan. Dirinya pun menunggu sampai Ryan melahap makanan buatannya itu. Dengan rasa penasaran dan muka tersenyum dirinya hanya mengamati Ryan yang sedang mengunyah makan buatannya. "Gi mana?" tanyanya. "Hmm! Enak!" jawab Ryan. Rose pun sangat senang, dia mulai melahap makanan itu dengan cepat. Ryan yang melihat itu tertawa geli. Sambil menyantap makanan itu mereka pun berbicara. "Papi- mami lu suka barang-barang art gitu-gitu ya?" tanya Rose. "Ngga. Gua yang suka!" balas Ryan tegas. Rose mengangguk mengerti.

Rose memandang ke sekeliling ruangan mencari jam dinding. Dilihatnya "23.05". "Woaah! Udah malem! Papi-mami lu kok belum pulang?" tanya Rose. Ryan hanya mengangkat kedua bahunya menandakan ia tidak tahu. Selesai makan Ryan mencuci piring mereka. "Udah malem, lu mending tidur! Besok bukan Sabtu loh!" ujar Ryan. Rose pun mengangguk "iya" dan berjalan ke atas.

***                                  
(Paling enak baca ini sambil dengerin lagu sedih.. feelnya dapet.. banget..🥀) -saran author a.k.a geboii

Sudah pk. 12.15, Rose belum juga tertidur. Karena tidak tahu mau berbuat apa, dirinya pun memutuskan untuk keluar ke balkon untuk menghirup udara segar. Ketika dirinya hendak berjalan ke arah balkon. Dilihatnya Ryan yang sedang berdiri di sana. Ia pun menghampiri Ryan. "Ngga bobo?" tanyanya. "Ngga ngantuk" jawab Ryan. Ketika meng-"iya" kan jawaban Ryan. Dilihatnya beer di tangan Ryan, "Lu.. stress?" tanya Rose. Ryan hanya terdiam tidak membalas. "Kalo stress lebih baik jangan lu pendem sendiri.. kasih tahu ke orang yang de-ke-t banget! sama lu! lanjutnya perhatian. "Kayak?" tanya Ryan. "Papi-mami lu?" jawab Rose. Ryan kembali terdiam.

Suasana menjadi awkward (canggung), tidak ada dari mereka yang membuka mulut. Sampai Ryan berbicara, "Gi mana kalo penyebab gua stress itu karena papi-mami gua? Gua mau nanya siapa?" tanya Ryan. "Gua!" jawab Rose cepat. Membuat Ryan tidak tahu mau membalas apa.

Ryan pun kembali membuka mulutnya lagi, "Papi-mami gua cerai.." ujar Ryan. Rose yang mendengar jawaban itu tersentak dan tidak tahu mau membalas apa. Dirinya hanya dapat memandang Ryan dengan kasihan. Ia pun memberanikan diri bertanya, "Da—ri.. kapan?". "Lu inget hari gua nelpon lu.. buat nemuin gua di taman?" ujarnya terlihat sedih. "Itu hari mereka cerai." Rose kehabisan kata-kata untuk menghinur Ryan. "Terus yang sekarang ngurus lu siapa?" tanya Rose. "Ngga ada! Gua mutusin gua bakal hidup sendiri.." jawabnya lesu. "Kenapa?" tanya Rose. "Karena mereka berdua pencundang! Mereka orang jahat! Ngga punya hati!" Mendengar kata-kata itu Rose hanya terdiam.

"Masing-masing dari mereka diem-diem udah punya selingkuhan. Tapi pekerjaan, kesibukan, mereka jadikan alasan untuk perceraian mereka. Gua emang anak mereka.. tapi gua ngga pernah merasa bangga punya orang tua kayak mereka.. jijik gua.." lanjutnya sambil menghabiskan beer miliknya. Rose pun bertanya, "Lu ngga kangen sama mereka?". Ryan hanya menoleh melihat langit malam. Tiba-tiba air mata mengucur dari mata Ryan. Dengan terhisak-hisak Ryan berkata, "Me-reka bi-i-lang ini -se- mu-mua salah gu-aa" "Salah gu—a ap-p-pa?" lanjutnya bertanya.

Rose Prov.
Mulai saat itu aku sadar kalau Ryan telah memendam rasa sakit itu sendiri. Dia kesepihan, dia sedih, dia merasa bersalah. Tapi selama ini yang ia perlihatkan hanya senyum lebar di depanku. Aku tak tahan lagi...

                               ~.~.~.~.~.~.~
Tak tahan melihat Ryan yang menangis. Rose beranjak ke arahnya dan memeluknya. Malam itu mereka berdua menangis bersama-sama. Tidak ada yang tahu berapa lama. Tapi rasanya tangisan itu berakhir bahagia.

                                      

***

Thank you for reading~
Vote & Comment too~
-geboii

Silly But Pretty (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang