TUJUH BELAS

1K 65 4
                                    

Bosan, itu yang kurasakan saat ini selepas kepergian Arkan. Perlu waktu lama untuk membujuk lelaki itu supaya segera sekolah. Untung aku punya pakar dalam hal membujuk, sehingga Arkan mengalah.

Sementara bunda dan bang Arlan berjibaku dengan kegiatan mereka setiap harinya. Alhasil, aku hanya sendiri diruangan serba putih ini.

Hanya ada hiburan TV yang tak menarik. Mataku melirik ke arah handphone, sudah jam sembilan pasti Arkan tengah belajar. Bibirku tak di sangka terangkat.

Baru saja aku ingin meringkuh dan memejamkan mata ...

"Haii!! Annaaa!!" Suara cempreng itu membuatku menoleh ke arah pintu. Ya, itu Geby dan Veril. Tunggu! Mereka bolos?

"Diam kuyuk! Ini rumah sakit," tukas Geby yang membuat Veril meringis.

"Kalian bolos?" Tanyaku seraya melihat penampilan mereka yang masih mengenakan seragam sekolah.

"Iya, sekali-kali lah," tutur Veril.

"Nih buah dari kita." Geby menyimpan keranjang buah itu di meja yang telah di sediakan.

"Kalian harusnya sekolah, gak perlu repot-repot kaya gini." Peringatanku hanya diangguki oleh mereka, ah yasudahlah hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan.

"Udah terlanjut di sini, mau gimana lagi?" Geby mengedikan bahunya. Aku menghela nafas seraya kembali ke posisi duduk dengan di bantu Veril.

"Gimana kondisi, lo?" Tanya Geby dengan tatapan khawatir.

"Sudah lumayan baikan," jawabku, tersenyum.

"Syukurlah. BTW, lo tau gak lelaki yang hampir melecehkan lo itu suruhannya si Sisil tau." Mendengar pernyataan Geby membuatku membulatkan mata. Tak di pungkiri lagi, siapa biang masalahnya.

"Untungnya ya, ayah si Sisil bertindak tega. Dia memindahkan anaknya itu ke luar nergi dan lelaki berandal itu di keluarkan dari sekolah. Aman deh, SMA Galaksi," jelas Veril.

"Gak boleh gitu, Ril. Doain semoga Sisil merubah sikapnya di negri sana," ujarku dengan nada lemah.

"Iya, semoga."

"Ada kabar baik lagi loh, Na," ucap Geby secara menggebu-gebu. Alisku terangkat sebelah, pertanda aku bertanya.

"Rara bakal balik ke Indonesia dan sekolah bareng lagi!"

Deg.

Mendengar nama wanita itu membuatku teringat pada mimpi kemarin waktu dalam keadaan tidak sadarku. Apa dengan kembalinya Rara, bakal terwujudnya mimpi itu?

Aku pun masih bingung akan ucapan Rara di mimpi. Apakah itu sebuah petunjuk takdir? Oh tidak, mungkin saja hanya bunga tidur. Biarlah waktu berjalan dengan semestinya, hingga mengungkap kebenaran mimpi itu.

Kutatapan wajah bahagia mereka sekarang, aku tersenyum hangat. Begitu beruntungnya aku mengenal mereka. Tak bisa rasanya melihat persahabatan ini hancur. Semoga itu tidak terjadi.

Teng

Sesuatu telah membentur kepalaku, ah kepalaku mengapa tiba-tiba sakit. Tangan yang tertempel infus terangkat memegangi kepala berharap rasa sakit ini hilang.

"Arrghhh!" Teriakku yang tak bisa menahan rasa sakit ini.

"Anna, astaga! Ril panggilin dokter!" Geby berteriak panik. Terlihat Veril keluar dengan langkah cepat.

Rasa sakit ini terus menyerangku, suara Geby mulai terdengar samar-samar. Hingga seorang dokter masuk, yang menyisakan kami berdua.

Dengan setengah sadarku, aku dapat melihat alat-alat medis yang mulai menempel di tubuhku. Hingga dokter menyuntikan sesuatu, dan aku benar-benar terlelap.

*********

Ugh! Kelopak mataku terbuka perlahan, hingga akhirnya pupil ini menangkap sosok lelaki yang kusebut, abang. Ya itu bang Arlan yang tengah berkutat dengan laptopnya

Kulirik jendela ruangan kuberada sekarang. Sudah senja, apakah aku tertidur lama sekali? Oh ya, dimana Geby dan Veril. Ah, bodoh! Ya tentu mereka pulang.

Aku menoleh ke arah bang Arlan lagi. Sepertinya lelaki itu tak menyadari aku sudah terbangun. Boleh kutebak dari ketidak sadarannya, pasti bang Arlan khawatir mendengar kabar aku tak sadarkan diri lalu meminta izin pada dosennya untuk ke rumah sakit. Lihatlah, dia fokus sekali ke layar laptop.

Tenggorokanku sangat kering sekali, tanganku mencoba meraih gelas di samping namun sulit. Terpaksa aku harus meminta bantuan bang Arlan.

"B-ang." Suaraku begitu lemah sekali. Tapi untungnya bang Arlan mendengarnya. Dia menutup laptop dan menghampiriku.

"Alhamdulillah, kamu sudah bangun."

"Haus." Sepertinya bang Arlan mengerti maksud ucapanku. Dia langsung mengambilkan gelas berisi air putih itu lalu membantuku untuk meminumnya.

"Bunda mana?" Mataku melihat kesepenjuru ruangan.

"Tadi Abang udah hubungin Bunda. Katanya lagi tutup butiknya dulu."

Aku menghela nafas. Begitu khawatirnya mereka terhadapku. Pupil, mataku menatap langit-langit ruangan.

Klek

Decitan pintu itu membuat tatapanku dan bang Arlan teralih. Aku tersenyum lebar ketika melihat sosok itu. Rindu sekali melihat wajahnya.

"Anna." Dia mengelus rambutku dengan lembut, lalu menggenggam tanganku seolah tengah menyalurkan energi kepadaku.

"Dia kenapa lagi Bang?" Dia bertanya tanpa melepas pandangannya padaku.

"Sakit kepalanya kambuh."

Mata sayunya membuat badanku seketika menghangat. "Aku baik-baik aja. Arkan."

Ingin menghentikan waktu yang berajalan ini. Ingin memeluk erat tubuhnya, seperti tak mau melepas dia untuk siapapun. Namun keadaan tak berpihak kepadaku.

Tolong tuhan jangan cabut kebahagian ini secara paksa. Aku tahu pasri suatu saat ada badai yang akan menghampiriku, dan aku ingin melewatinya tanpa kehilangan siapapun. Semoga saja.

**********

Indra penciumanku menghirup setiap inci udara yang ada di ruangan kecil ini, ruangan yang kurindukan walau beberapa hari. Ya, aku sudah ada di rumah lebih tepatnya sekarang ada di kamarku.

Sudah tiga hari aku melewati waktu di rumah sakit. Sekarang aku sudah di perbolehkan pulang. Senang rasanya bisa menghirup udara rumah lagi.

Perhatian bunda dan bang Arlan kini semakin bertambah kepadaku. Senang sekali. Dan lebih senangnya, Arkan menjadi sosok yang tak ingin lepas dariku.

Lihatlah baru juga kami berpisah, lelaki itu sudah mengirimkan beberapa pesan kepadaku. Kadang aku tertawa sendiri melihatnya.

"Anna."

Aku menoleh. Melihat adanya sosok malaikat tanpa sayapku, bunda. Beliau menghapus jarak di antara kami.

"Obatnya jangan lupa di minum ya. Kalo ngerasa pusing, bilang sama Bunda atau Abang."

"Iya, Bun."

"Oh iya, Anna besok boleh mulai sekolah?" Bunda mengangguk yang membuatku tersenyum lebar. Sudah rindu melihat suasana sekolah.

"Bunda kebawah dulu. Nanti balik lagi bawa makanan buat kamu." Aku mengangguk kecil.

Sosok paruh baya itu hilang setelah pintu tertutup rapat.














Konflik menanti guys.

Maaf agak kurang kena, soalnya aku gak cek ulang part ini.

Selamat mambaca, saja ya.

Bonus untuk penulis yaitu vote and komen nya yaaaa..

Salam.

Bidadari Sekolah(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang