Gadis dengan jaket berwarna navy yang menutupi sebagian seragam SMA-nya itu memasangkan sepasang earphone di telinganya. Sepatu sport yang warnanya senada dengan jaket, menemani langkahnya yang santai menuju ruang Kepala Sekolah. Sesekali siswa maupun siswi menatapnya lekat yang membuatnya risih.
Hari ini adalah hari sekolah pertamanya setelah kedua orang tuanya memutuskan untuk pindah ke Jakarta.
Sampai di depan pintu bertuliskan Ruang Kepala Sekolah, Jasmine menarik napas panjang yang kemudian ia keluarkan secara perlahan dari mulutnya. Ia melepas sepasang earphone itu dan meletakkannya di saku jaket, bersatu dengan ponselnya.
***
Ruang kelas 11 IPA-3 sudah mulai ramai berdatangan siswa-siswi penghuni kelas itu.
"Gimana nih bro sama target kita sepulang sekolah?" Fariz yang baru saja sampai, lantas duduk di kursinya setelah meletakkan tasnya di meja dengan asal, langsung menghadap ke dua manusia yang duduk di belakangnya.
"Tenang. Gue udah bikin strateginya." Bagas yang sedang menyontek tugas itu angkat bicara tanpa menoleh ke lawan bicaranya.
"Kalo lo gimana?" Tatapannya beralih ke cowok yang duduk di sebelah Bagas.
"Gue ngikut." Jawab Rey seadanya pertanyaan dari sahabat karibnya itu, juga tanpa menoleh ke pemilik sumber pertanyaan, karena dirinya juga sedang sibuk bermain game.
Fariz hanya bergumam, lantas keluar kelas dengan sikap sok kerennya. Satu tangan dimasukkan ke saku celana, baju atasan dikeluarkan, rambut berjambul, tak lupa dengan siulnya yang walaupun fals tetapi berhasil membuat para gadis dari kelas 10, 11, 12 itu klepek-klepek. Apalagi ibu kantin yang tak henti-hentinya menjodoh-jodohkan ia dengan anak gadisnya.
Saat segerombolan siswi kelas 10 itu saling berbisik sambil sesekali menatapnya, ia justru sengaja menaik turunkan alisnya dengan tujuan menambah keterpikatan dirinya. Dan tentu saja ia mendapat respon berlebihan dari para gadis itu.
"Bu! Kopi satu." Teriaknya lalu duduk di salah satu kursi kantin dengan salah satu kaki ditekuk di atas kursi.
"Asiyapppp." Sang ibu kantin balik berteriak diikuti dengan jari jempolnya.
Sementara kopi belum datang, bel masuk sudah berbunyi. Karena tak ingin tertinggal pelajaran, Fariz langsung berjalan cepat ke arah ibu kantin itu.
"Bu, kopinya bungkus aja pake plastik." Ucapnya seraya mengambil sebuah sedotan dan plastik dari bungkusnya.
Tanpa banyak tanya, ibu kantin itu menurut walaupun ia tengah menahan tawanya.
Setelah membayar, lelaki itu berjalan santai sambil menikmati kopi hangatnya yang dibungkus plastik ditambah sedotan. Halaman sudah sepi, menyisakan ia yang tengah berjalan sendirian melewati koridor. Sampai di kelasnya, ternyata sudah ada Bu Ami, guru sejarah yang belum kunjung bertemu jodohnya. Bersyukur Fariz tidak bertemu guru killer.
Dengan langkah santai, Fariz melengang masuk ketika Bu Ami sedang menjelaskan pelajarannya.
"Sudah berapa kali ibu bilang, jangan makan di kelas!" Suara Bu Ami menggelegar ke seantero kelas.
Fariz yang belum sampai di kursinya langsung memberhentikan langkahnya. Tidak ada satu persen pun rasa takut dalam dadanya. Yang ada, ia gemas dengan Bu Ami karena Fariz pikir, Bu Ami gampang emosi sebab calon suami belum juga datang dan menikahi gurunya itu.
"Kan saya minum, Bu." Jawab Fariz asal sambil menyeruput kopinya kembali lantas duduk.
"Buang!" Perintah Bu Ami yang mulai emosi.
"Mubazir Bu. Saya kan belinya pake uang."
"Suruh siapa kamu belinya menjelang masuk kelas."
"Bu Ami nggemesin deh." Langsung saja Fariz mengeluarkan jurus andalannya, tak lupa dengan cengiran khasnya yang terlihat sangat manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Love
RomanceJasmine merupakan anak baru di salah satu SMA di Jakarta. Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Namun masa lalu indah dan masa lalu buruknya seketika kembali dalam waktu yang bersamaan. Lantas apa yang harus dilalukan Jasmine sekarang? Masa lalu i...