part 7

10 4 0
                                    

"Mega, kalo gue amati, kok muka lo kaya gak asing gitu ya?" Tanya Jasmine kala Mega telah duduk di tepi ranjangnya.

Mata mega melebar sedikit, hanya sedikit. "Ah masa sih? Ya, kan mukaku emang pasaran." Terkekeh, menjawab pertanyaan Jasmine.

"Enggak, Me. Emang kayaknya kita pernah ketemu di suatu tempat, tapi gue lupa. Dan kayaknya lo juga lupa."

Mega hanya tertawa kecil menanggapi pembelaan dari sahabatnya itu.

"Btw, itu buku lo?" Tanya Mega seraya menunjuk ke buku yang telah diletakkan Jasmine di atas meja kecil di kamarnya.

Menggeleng, Jasmine memperbaiki posisi tidurnya menghadap Mega. "Bukan. Itu gue dikasih sama temen."

"Siapa?"

"Ada. Tapi gue gak tau sekarang dia dimana. Dia juga kayaknya gak berusaha nyari gue. Mungkin udah lupa kali sama gue." Jasmine tertawa getir, menatap buku diary itu dengan tatapan kosong.

"Lo sabar aja Jas. Gue yakin, jauh di sana, dia juga lagi berusaha nyari lo. Cuman lo nya aja yang gak tau. Liat orangnya aja engga, gimana lo bisa langsung nyimpulin kalo dia gak nyari lo?"

"Tapi gimana ya. Udah 10 tahun gue nyari dia, dan seakan gue bener-bener kehilangan jejak dia. Gue gak ngerti lagi gue mesti gimana biar gue bisa temuin dia. Gue kangen banget sama dia." Tak terasa, setetes demi setetes air mata Jasmine mengalir melalui kedua matanya menuju ke atas bantal.

Mendengar curahat hati sahabatnya, Mega tidak bisa menahan untuk tidak menangis. Sebenarnya ia tahu bahwa sosok yang dicari oleh Jasmine tak lain adalah Rey. Namun mengapa sahabatnya itu hanya menceritakan tentang Rey saja? Mengapa ia tidak membahas tentang sahabat satunya lagi yang mana merupakan Mega sendiri? Apakah nama Mega telah hilang dari hati seorang Jasmine? Apakah Jasmine memang telah melupakannya seperti apa yang ia pikirkan selama ini? Mengapa Jasmine begitu tega?

***

"El pulang ...!" Teriak Rey sesampainya ia di rumah dan membuka pintu utama, lantas melempar tasnya sembarangan.

"Astaghfirullah, kodok, eh, kodok!" Latah bunda Rey yang tengah duduk santai tidak dapat ditahan ketika mendengar teriakan anaknya yang berhasil membuatnya terkejut bukan main.

"Hehehe, bunda." Rey melangkah dan langsung memeluk bundanya dari belakang sofa.

Bundanya hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya yang tidak pernah berubah. Mencomot beberapa keripik kentang, lantas memasukkannya ke dalam mulutnya.

Rey berdiri, mengambil tasnya yang sempat ia lempar. "Yuk, bun." Ajak Rey dengan langkah kakinya yang menaiki anak tangga.

"Kemana?" Kedua alis bundanya terangkat.

Langkah Rey terhenti, lantas membalikkan tubuhnya. Menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, bingung harus menjawab bagaimana.

"Itu, kan, sekarang hari kematian ayah."

Seketika kedua mata bundanya berubah sendu, meletakkan beberapa potongan keripik kembali ke atas piring.

"Iya, kamu siap-siap dulu. Nanti bunda nyusul."

Sesampainya mereka di pemakaman, keduanya diam dengan pikiran masing-masing. Pandangan mereka tertuju pada batu nisan yang telah agak usang.

"Bun, El kangen ayah." Ucap Rey pelan.

Di sebelahnya, bundanya sudah menangis sejak tadi yang baru Rey sadari. Ia lantas merangkul sang bunda, lantas mengusap bahunya untuk mencoba menenangkan. Senyum yang berusaha dipaksakan ia tunjukkan kepada bundanya, menunjukkan bahwa anak semata wayangnya itu baik-baik saja.

"Bunda kuat. Ayah lagi bahagia di surga."

Bundanya mengangguk, mengusap air mata di kedua pipinya. "Ayah kamu itu orangnya suka ngelawak. Makanya kalo gak ada ayah itu rumah terasa sepi banget." Bunda terkekeg pelan, bernostalgia dengan masa lalu.

Rey setia mendengarkan. Pikirannya mengikuti arah pembicaraan ibu yang terbang jauh ke belakang sana. Ikut tersenyum melihag bundanya yang terlihat tertawa pelan.

Bundanya bangkit dan berjalan meninggalkan Rey seorang diri. Rey tahu, bundanya sedang menangis sekarang. Namun berusaha ditutupinya agar ia juga tak ikut sedih melihat kondisi bundanha yang masih saja terpuruk hanya dengan mengingat sang ayah yang amat sangat dicintainya.

Mobil yang dikendarai oleh Rey menepi menuju pinggir jalan depan rumahnya. Bundanya turun, disusul Rey sendiri.

"Bunda, ceritakan kembali tentang dia." Rey merangkul bundanya, berjalan menuju rumah.

"Emm ..." Kedua mata bundanya menatap ke atas, nampak sedang berpikir. "Dia itu suka sekali dengerin musik. Dia juga suka nyanyi. Dan mungkin karena keseringan nyanyi, suaranya bagus banget gitu."

"Ah masa sih bun? El jadi gak sabar pingin banget ketemu dia."

"Makanya dicari dong. Jangan diem terus." Bundanya menjewer pelan telinga anaknya.

"Sakit bun." Rey mengusap-usap telinga yang baru saja dijewer bundanya. "Mau gimana lagi nyarinya bun. Bunda kan tau sendiri kondisi aku kaya gimana. El jadi lupa sama wajahnya bun. Dan karena itu juga El jadi makin sulit buat nyari dimana Jaja berada."

"Makanya jangan pake acara hilang ingatan juga dong El." Bundanya memutar knop pintu, lantas masuk ke dalam rumah mendahului Rey, sehingga rangkulan anak laki-lakinya itu terlepas.

"Bundaaa."

***

"Ati-ati di jalan, Me. Masih inget kan jalannya? Ntar lo malah lupa arah jalan pulang kaya lagu itu." Jasmine tertawa, mengantar Mega hingga pintu gerbang rumahnya.

"Udah diem. Mending lo tidur aja sana gak usah cerewet." Mega memakai helm dan menyalakan sepeda motornya.

"Loh bukannya yang cerewet itu elo ye? Dasar gak ngaca." Jasmine kembali tertawa demi melihat raut wajah sahabatnya yang terlihat sangat kesal.

"Mendung nih. Bentar lagi ujan." Kepala dan kedu tangan Mega menengadah, memastikan apakah air hujan sudah mulai turun atau belum.

"Dengerin, Me." Ekspresi wajah Jasmine berubah serius, lantas berjalan mendekati Mega.

Mega yang sedang sibuk menatap ke arah langit itu beralih menatap sahabatnya. "Apa?"

Mulut Jasmine mendekati telinga Mega dan berbisik, "mendung belum tentu hujan. Jomblo belum tentu kesepian."

"Ihhhhh. Jasmine ... kirain ada apa." Mega mengacak-acak rambut Jasmine gemas. Yang diteriaki akhirnya memilih untuk menjauh dari sahabatnya.

"Udah sana buruan. Mengganggu pemandangan tau gak."

"Oh iya. Masalah sahabat masa kecil lo, gue bakal bantu cari." Mega tersenyum, sudah menaiki sepeda motornya.

"Makasih ya Me. Lo emang sahabat gue yang paling ngerti keadaan gue." Ucap Jasmine tulus.

Mega mengangkap satu jempolnya, lantas menjalankan sepeda motornya meninggalkan area perumahan dimana Jasmine tinggal.

Di depan pintu gerbang, Jasmine menatap lamat-lamat punggung sahabatnya yang sudah menghilang di balik tikungan. "Maaf Me. Gue masih belum bisa inget siapa lo sebenernya di hidup gue. Tapi gue janji gue bakal berusaha nyari tau siapa lo sebenernya. Walaupun mungkin lo juga lupa sama gue, atau mungkin emang bener kata lo kalo wajah lo emang pasaran. Tapi entah kenapa gue gak percaya gitu aja Me. Gak ada salahnya kan kalo gue nyari tau semua kejanggalan di hati gue?"

Hujan mulai turun seiring kata demi kata yang terlontar dari bibir Jasmine.

1 Agustus 2019

***

Vote, kritik dan saran sangat dibutuhkan 💙💙💙

Sebenarnya si Mega itu siapa sih? Btw Mega baik banget yah mau nyari tau si pemilik buku diary itu.

Forever LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang