sex policy#2

6.5K 36 0
                                    

Andra POV

Jika ditanya kenapa Gina? Aku juga nggak tahu. Saat itu, aku merasa ingin memilikinya. kantor cabangku tidak mempekerjakan yang sudah menikah, kenapa? Karena akan crash dengan kebijakan yang ada. Kebijakan yang mengatur agar tiap 1 orang memiliki partner untuk menuntaskan hasratnya. Dan aku ingin Gina menjadi partner ku.

Karena leluhurku percaya bahwa kebijakan ini membantu agar tidak ada lagi tim yang termakan rayuan body orang marketing, begitupun tim marketing ku tidak akan tergiur untuk menjual badan demi perusahaan. Semua murni berlandaskan bisnis, maksudku kami ingin berbisnis dengan benar sekalipun segala hal yang berbau 'sex' sudah kami sediakan di dalam kantor. Alhasil terbukti sekali tidak ada staf di kantor cabangku yang bermain di belakang, semua blak-blakan. Mudah kan?

Kembali soal Gina, dilihat dari wajahnya, sepertinya aku menggunakan intonasi yang salah. Dia gugup dan cemas, apalagi saat kami harus bertemu di ruangan bu Rose, dia menentang mati-matian. Parahnya lagi, dia mengaku telah bertunangan, ah sial. Kembali lagi efek dari emosi sesaat dan ego ku yang terluka, aku memaksanya memutuskan tunangannya.

Pintu ruang kerja ku diketuk seseorang, artinya sekretarisku sudah memastikan bahwa dia adalah tamu penting. Tidak kusangka, Gina adalah orang itu. Tangannya terjalin dibawah, kepalanya menunduk, dan sepatunya mulai berjengit tak karuan. Akhirnya dia pun masuk dan menutup pintu setelah ku persilahkan.

"Sebentar lagi istirahat makan siang, kau mau sesuatu?"
"Tidak, tapi terima kasih."
"Okay... Bisakah kau mendekat? Aku tidak mungkin menikmatimu secara visual saja kan?"
"Tidak bisakah..." Gina meneguk salivanya dengan sulit saat dia mencoba menawar. Tapi aku tidak peduli lagi.

Aku menyerbunya, memangsanya ibarat rusa buruanku dan menekankan bibirku padanya.
"Buka mulutmu."
Namun karena dia tak kunjung membuka maka tanganku menjepit kedua sisi pipinya dan aku pun mejelajah seluruh isi semesta di dalamnya. Aku harus mengajarinya berciuman atau aku akan... Ah sudahlah.

"Balas aku."
"Saya tidak tahu."
"Ikuti caraku..."
"Tapi..."
"Ikuti atau aku entotin kamu tanpa ampun siang ini?" Dia memulai menempelkan bibirnya padaku dan secara sukarela membukanya, sehingga aku bebas menjelajah tanpa usaha extra. Intinya aku menikmati setiap jengkal suguhan yang ada di depan mataku sekarang.

Aku menjadi tak sabaran saat tanganku mulai meremas payudaranya dari luar blousenya, membuat dia melenguh dalam ciuman kami.
"Ku anggap lenguhan mu adalah pujian kenikmatan atas usahaku." Bisikku tepat di telinganya. Lalu aku melanjutkan dengan menggigit dan menjilat cuping telinganya kemudian bergeser ke lehernya yang dilengkapi dengan 2 garis lintang.

Sungguh aku menjadi tak sabar saat beberapa kali Gina mendesah nikmat akibat remasan tanganku, dengan tergesa-gesa, aku merusak blouse nya dan tampaklah sepasang kenikmatan yang diperuntukkan buat diriku seorang.
"Call my name baby... Call me Andra. Nanti malam aku akan membelikanmu BH dengan pengait di depan."
"Tidak perlu pak.."
"Waktunya akan lebih efektif untuk nyusu daripada merusak blouse mu. Trust me." Aku langsung memasukkan salah satu ujungnya ke dalam mulutku. Memuaskan rasa penasaranku akan sensasi dan rasanya, lidahku menari di permukaan kulitnya tanpa menyentuh ujung putingnya.

"Ahhh.... Aahh..ndra.."
"Tell me what you want."
"Ahh..." Dia kembali mendesah saat payudara sebelahnya juga merasakan lidahku yang basah dan hangat.
"Kau menyukainya?" Tanyaku saat kedua tanganku memilin ujung putingnya, menariknya sedikit, dan mencubitnya.
"Hhmmmm...uh.." ibu jariku menikmati kelembutan dan rasa kenyal di keduanya.
"Aku akan terus meremasnya, memilinnya seperti ini, dan menghisapnya... Jadi, aku sarankan kau harus memperbesar ukuran cup BH mu." Kataku yang vulgar memenuhi ruangan tanpa sadar.

Inilah kali pertama aku hampir gila saat merasakan payudara nya dalam mulutku, kemudian aku mencoba menggapai celana dalamnya, tapi agak sulit karena dia memakai rok pensil.
"Jangan gunakan rok pensil lagi."
"Kenapa?" Tanya nya dengan ekspresi sayu dan bibir terbuka menandakan dia akan ngewe sebentar lagi.
"Karena ini.." aku menampar pantatnya dari luar dan meremas keduanya bersamaan.
"Kecuali kau ingin aku meremasnya setiap kali kita bertemu dan seluruh kantor melihatnya."
"Jangan pak... Andra.."
Lagipula aku ingin melakukan banyak fantasi liar dengannya, pastinya akan sulit menjelajahi isi celana dalamnya apabila dia tetap menggunakan rok pensil. Jadi aku mengusulkan rok yang biasa digunakan tim sorak.

"Ahh... Pak sudah..." Aku menulikan telingaku, padahal aku tahu, bercak merah yang kutinggalkan sudah memenuhi dada dan lehernya.
"Angkat rokmu."
"Untuk apa?"
"Angkat saja." Dia pun menurut, maka secepat itulah aku menyelipkan jariku ke belahan kemaluannya.
"Say yes..."
"Yyeesshh..."
"Katakan apapun sesukamu saat jariku memuaskanmu." Jariku pun melesak bebas meskipun celana dalam Gina menjadi penghalang, namun aku tidak peduli, aku tetap bermain dan mengundang orgasme agar dia tahu apa arti kenikmatan yang dia tolak mentah-mentah di awal.

"Ahh... Pak... Jarimu kasar.."
"Hmm... Pelan pak..."
"Uh,, enak pak...."
"Iihhh... Jangan dicubit pak...."
Begitulah jawaban Gina saat aku memainkan klitorisnya. "Uh.. pak saya mau pipis."
"Lakukan..."
"Saya mau ke toi... Aduh pak... Stop.. ahh.. pak Andraakhh..."
"Aku ingin melihatnya..." Dia pun orgasme di depan mataku dengan bebas.

Aku pun menopang tubuhnya yang kelelahan karena orgasme, membiarkannya duduk di sofa dan mencium keningnya.
"Menurutlah padaku maka kau akan baik-baik saja."
"Diam lah pak." Aku terkejut dan tersenyum mendengar responnya. Dari posisi ku duduk, aku masih bisa melihat paha Gina yang mengangkang lebar, seolah memanggilku untuk mengentotnya sekarang juga.

Tapi aku ingin menggodanya, menyadarkannya, bahwa inilah kenikmatan yang akan kubagi padanya. Tangan kiri ku mulai mengelus kemaluannya dari luar celana dalamnya, kemudian aku turunkan dan kembali mengusapnya dengan sensual, sambil membuka belahan bibir vaginanya yang basah dan merekah. Aku mencari clit yang membuatnya melayang, sehingga dia akan memasrahkan dirinya padaku sepenuhnya.
"Ahh.. sudah pak aku lelah."
"Tell me, vagina siapa ini?"
"Punyaku pak."
"Cuma aku yang boleh bersarang disini." jawabku sambil memasukkan dua jariku.
"Ahh pak.. sudah."
"Apakah enak?"
"Ihh ya pak... Enak.."
"Banget?"
"Ehm.."
"Penisku lebih enak lagi." Bisikku di telinganya.

"Bayangkan penisku masuk kesini, menusukmu sangat dalam, bahkan lebih dalam daripada sekarang. Menusukmu berulang-ulang... Terus menghujam pelan, sehingga kita sama-sama merasakan gesekan kulit kita. Penisku akan membesar di dalam sana dan vaginamu mulai meremas penisku sangat rapat dan nikmat. Kau mau?"
"Pak... Saya mau pipis." Aku melepaskan jariku dan wajah frustasi yang tergambar di wajahnya.
"Pakk...."
"Apa?" Dia pun menggeram kesal karena ulahku.
"Namanya orgasme, bukan pipis atau kencing. Mau?" Dia menggigit bibirnya.
"Katakan kau akan datang saat aku butuh.."
"Iya... Aku akan datang."
"Aku bakal nyusu dan ngentot kamu kapanpun."
"Iya pak... Cepetan.."
"Bilang dulu."
"Iya pak... Aku mau ngentot sama kamu kapanpun kamu butuh."
"Kalau nyusunya gimana?"
"Iya pak... Nyusu juga boleh di kantor..."
"Ini vagina siapa?"
"Ini.. ini.. vagina ku buat penismu pak.."
"Say ah.. baby."
"Ahhh... Ah... Uh...." Dia mulai merintih kembali saat aku merangsanya hingga dia kembali orgasme.
.
.
.

Building One Shoot (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang