Musim panas datang bertamu di Busan, menerpa dedaunan kering hingga berterbangan kesana kemari dalam kerendahannya.
Menatap setiap cakrawala sang pencipta yang didominasi dengan warna biru muda. Dan Minri, adalah orang itu. Dia menonton segala aktivitas luar, lewat kaca bening dalam ruangan tempat dia berpijak.
Membayangkan setiap kenangan dimasa lalunya dimana dia dan keempat temannya selalu mengacaukan kelas, saat mereka ada di bangku sekolah menengah atas dulu. Entah bagaimana keadaan mereka sekarang. Sudah seperti apa wajah mereka kini, tak terbayangkan lagi bagaimana bentuknya.
Rasa rindu mulai tumbuh dalam benak dokter cantik ini. Dia rindu dengan suasana kelas mereka yang dulu, jika kelima squad mereka tidak lengkap ataupun tidak ada sama sekali, kelas mereka akan sunyi seperti rumah yang sudah tak dihuni lagi tanpa kelimanya.
Keseruan mereka saat menatap dan mengamati ketujuh mahakarya Tuhan melalui member Bangtan. Teriakan yang selalu terlontar tanpa sengaja dari mulut mereka, saat sesuatu yang mereka lihat menampakkan jelas aurat dari salah satu para pria itu. Hingga seringkali penghuni kelas yang lainnya mulai menyinggung satu persatu dari mereka. Dan tanpa permisi, kata kata yang tidak sepantasnya terlontar begitu saja karena emosi yang sudah memuncak. Semuanya itu, sangat dirindukannya. Sudah tidak sabar untuk berbagi kisah dari masing-masing benak, jika seandainya saja sang kuasa mengadakan kesempatan kedua untuk mereka bertemu lagi suatu saat nanti.
Rasa rindu pada kedua orang tuanya di Seoul, seolah-olah menyelimuti pikirannya saat ini. Semenjak dia mulai menjalani pendidikannya sebagai mahasisiwa kedokteran di Univesitas ternama di kota Seoul, dia sudah tidak lagi bertemu dengan orang orang yang disayanginya itu.
Sampai-sampai belaian tangan lembut seseorang dirasakannya, dan memecah lamunan panjangnya.
Tangan yang begitu lembut dan hangat itu melingkari perut ratanya. Menempatkan dagunya di pundak sang wanita tercintanya. Membuat wanita itu terkejut bukan main. "Ji-jimin, lepas ini geli." Minri merengek ketakutan. Takut jika Jimin melakukan hal yang belum seharusnya.
"Aku tahu, ini pertama kalinya aku memelukmu seperti ini, dan aku ingin kita ke jenjang yang lebih serius dari ini Minri. Aku ingin menjadi bagian penting dalam hidupmu."
"Tapi kau sudah mengisi bagian itu Jim,"
"Aku ingin lebih dari itu."
Minri mulai mencerna.
"Apa maksud---,"
"Aku ingin kita menikah. Secepatnya." Jimin menyela, memotong pembicaraan.
Minri melotot sesekali mengerjapkan matanya, seakan tidak percaya, terkejut dengan perkataan Jimin. Ini pertama kalinya Jimin memeluk pinggangnya penuh hasrat, dam ternyata ada sesuatu dibalik semuanya itu.
Batinnya terus bicara. "Apa Jimin melamarku? Dia ingin kita menikah? Secepatnya? Astaga, bisakah aku terbang saat ini juga? Aku sungguh bahagia. "Tuhan terima kasih, Kau telah mengabulkan doaku selama ini. Jimin ada di depan mataku sekarang, dia bahkan memelukku, dia ingin menikahiku. Terima kasih, Kau mengabulkan semua harapanku. Terima kasih Tuhan, kau memang sangat baik."
"Minri-ah, kenapa kau diam saja? Apa kau tidak ingin kita menikah?" Jimin menjauhkan wajahnya dari tempat semula, membalikkan tubuh Minri agar bertatapan dengannya.
Minri terlihat tidak percaya dengan ucapan lelaki itu. "Ji-jimin, kau serius?"
Jimin menangkup wajah sang wanita, "Iya Minri, aku serius, dan aku tidak mungkin main-main soal ini." Nada suaranya benar-benar meyakinkan, dan membuat wanita itu tersenyum malu, bingung harus berkata apa.
"Tapi Jim, bagaimana dengan kontrakmu dan---mph."
Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Jimin sudah lebih dulu membungkam benda kenyal itu dengan bibirnya yang tebal, dan membuat Minri seakan menikmatinya.
Tidak kurang dari tujuh detik Jimin melepas ciuman mereka dan menatap Minri. "Aku tidak peduli dengan semuanya itu, aku hanya ingin kita menikah, Minri." Jawab Jimin begitu lembut, namun terkesan begitu tegas.
Minri duduk di kursi yang tak jauh dari tempat ia berdiri sebelumnya. Diikuti Jimin di belakangnya. "Tapi, ada sesuatu yang ingin aku jelaskan padamu Jim, entah mengapa aku sangat ingin mengatakan ini padamu."
"Apa?" Jimin mungkin sudah penasaran dengan itu.
"Dulu, aku hanya seorang anak yang terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Aku punya mimpi yang besar, dan saat aku mengenal kalian, aku tertarik dengan itu, dan akhirnya aku memutuskan untuk jadi Army. Setelah tiga tahun aku jadi Army, aku bertemu dengan empat teman yang juga sama denganku, mereka juga Army. Lama kelamaan, kami berlima makin terbiasa dan semakin terobsesi pada Bangtan. Mereka ingin sekali bertemu dengan kalian, begitu juga denganku. Aku sangat ingin bertemu kalian, dan bahkan aku sampai berangan-angan bahwa aku akan menikah dengan idolaku suatu saat nanti. Dan entah mengapa semuanya berlalu begitu cepat, impianku untuk menjadi seorang dokter tercapai, dan aku memang tidak menyangka bahwa aku akan dipertemukan dengan kalian, terlebih kau Jimin. Saat aku memeriksamu waktu itu, rasanya aku ingin segera memelukmu saat itu juga saking senangnya. Tapi, aku tidak mungkin melakukan itu, terlebih saat kau memujiku waktu pertama kali kita bertemu itu membuatku serasa ingin terbang Jim. Aku sangat tidak menyangka semuanya bisa sampai sejauh ini, aku bisa bersamamu sekarang, dan bahkan kau ingin menikah denganku. Aku bersyukur bisa bersamamu sekarang." Minri menjelaskan semuanya sedetail mungkin, tentang apa yang dia rasakan selama ini.
Rasanya sungguh lega dan nyaman, dia bisa mengungkapkan semua perasaannya yang terpendam selama ini pada orang yang ia cintai.
Jimin terkekeh, dan kurang dari lima detik dia mulai membalas penjelasan Minri yang sangat panjang. "Aku memang sudah berpikir bahwa kau adalah seorang Army. Dan kalau boleh jujur, saat pertama kali kita bertemu di konser itu, aku mulai menyukaimu Minri. Entah mengapa aku sangat tertarik dengan parasmu yang sangat cantik. Setelah mengenal ribuan army di luar sana, seumur hidupku itu adalah kali pertamaku mencintai seorang wanita setelah ibuku. Wajahmu mendominasi setiap pikiranku Minri. Aku menyayangimu."
Minri tersipu malu, dan merasakan seolah olah dia memang orang yang sangat spesial untuk Jimin. Tapi, kenyataanya memang seperti itu. "Aku juga, menyayangimu."
"Terima kasih Minri, terima kasih untuk semuanya. Dan kau tidak usah memikirkan kontrakku dengan Bangtan aku bisa mengurusnya, kau tidak usah khawatir." Jimin meyakinkan, sambil mendekap hangat tubuh ramping Minri.
Wanita itu hanya tersenyum dalam pelukan hangat dari seorang Park Jimin.
Detik selanjutnya Minri berucap, "eh, tapi Jim, bagaimana dengan orang tua kita? Mereka juga harus tahu tentang ini." Minri memang anak yang tidak pernah lupa dengan kebaikan kedua orang tuanya. Dia bahkan masih ingat dengan mereka. Dan tidak mungkin dia melupakan setiap kebaikan kedua orang yang selalu menjadi penyemangatnya selama ini.
"Oh iya, besok kita akan ke sana ke rumah orang tuaku juga orang tuamu." Jimin memegang pundak Minri dengan senyuman yang lucu bagai seorang balita.
"Terima kasih Jim, kau sangat baik." Minri tersenyum bahagia.
"Iya, sama-sama Minri." Jimin menarik Minri dalam pelukannya yang begitu hangat, melebihi kehangatan sang surya.
Hingga keduanya berakhir dalam pelukan hangat dari masing-masing rengkuhan tangan mereka.
Kebahagiaan yang disaksikan langsung mentari sore yang mulai menyembunyikan dirinya pertanda bahwa ia akan terus menghangatkan kedua tubuh mereka seperti ini. Bersamaan dengan harapan yang keduanya impikan. Cinta dan kasih sayang yang akan tetap abadi untuk selamanya.
-bersambung-
Thank you for reading and voment
Seeyuuu🥰

KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams Come True
FanfictionPark Minri adalah seorang Army yang begitu mengidolakan dan memimpikan menjadi seorang pendamping hidup sang idolanya merupakan suatu kehaluan tertinggi dan yang paling terindah yang pernah dia rasakan. Menjadi pendamping hidup dari seorang Park Jim...