Pangkal Masalah

12.2K 351 14
                                    

Bug!

Mas Bima menghempaskan tubuhnya di atas sofa.

Mami tergopoh-gopoh menghampiri. "Kok sendirian? Mana Nina dan anak-anak?" tanya Mami heran bercampur cemas.

Mas Bima menarik napas panjang. Kedua tangannya diusapkan ke wajahnya yang tampan. "Bima sudah menjatuhkan talak."

Kulihat Mami terduduk lesu, tepat di sebelah putranya itu. Tangisku pun pecah. Seketika kuberhambur ke dalam kamar. Tubuhku lunglai, melorot di balik pintu. Sosok Mbak Nina yang tengah hamil lima bulan mulai terbayang-terbayang. Begitu pula dengan si Kembar.

Kemarin, di rumah ini, Mas Bima dan Mbak Nina bertengkar. Gara-gara aku. Ya, gara-gara aku, adik angkatnya ini.

Ceritanya, aku membeli sejumlah buku melalui internet. Lalu aku meminta tolong pada Mas Bima untuk mentransferkan sejumlah uang. Kartu ATM-ku hilang. Laki-laki itu, seperti biasa, tidak mau repot. Tanpa babibu, ia langsung meminjamkan kartu ATM-nya padaku.

Dulu sebelum menikah, kartu ATM Mas Bima memang sudah sering kubawa. Saat itu, aku dijadikan asisten, membantunya mengelola bisnis kecil-kecilan. Namun setelah menikah, sang Istri lah yang menggantikan posisiku. Bisnisnya pun sudah berskala besar.

Kemarin ... agh, aku menyesal sekali. Padahal aku sudah ragu-ragu ketika Mas Bima menyodorkan kartu itu. Mas Bima juga terus meyakinkan. Saat itu istrinya tidak tahu karena sedang tidur siang.

Setelah selesai melakukan transaksi di mesin ATM, aku segera mengembalikannya pada Mas Bima. Mbak Nina yang saat itu sudah duduk di sebelahnya, langsung memberondongiku dengan berbagai pertanyaan curiga.

"Apaan sih, Ma? Khansa udah biasa kok bawa kartu ATM Papa. Udahlah, ngapain sih pake curiga segala?" tukas Mas Bima. Sepertinya ia risih melihatku diperlakukan seperti pesakitan oleh istrinya.

Mendengar kalimat itu, Mbak Nina marah besar. Suaranya meninggi. "Papa terlanjur percaya banget ya, sama dia? Mama sampe kalah!" Kalimatnya mengisyaratkan kecemburuan yang teramat dalam.

"Iyalah. Papa kan udah kenal Khansa dari kecil!" Suara Mas Bima tak kalah tinggi.

"Oke! Terus-terusan aja sayang sama dia! Istri, mah, nomor dua!" balas Mbak Nina. Sorot matanya tajam mengarah padaku.

Aku jelas merasa sangat bersalah. Agh, andai aku menahan diri untuk tidak membeli buku-buku itu. Andai aku menunggu Mbak Nina bangun ketika hendak meminjam kartu ATM itu. Sudahlah, Allah sudah berkehendak itu terjadi. Aku tak punya pilihan lain selain menghadapi ujian ini.

Dog dog dog!

"Caaa!" Itu suara Mas Bima. Ia terus menggedor pintu sambil berulang kali memanggilku.

Aku memilih diam, tetapi tangisku makin tersedu.

Lelaki itu berusaha mendorong kuat pintu kamarku. Tubuhku berusaha keras menahannya agar pintu bercat putih ini tak bisa ia buka.

"Ca, ini bukan salahmu." Suara Mas Bima melemah. Mungkin ia sudah lelah. "Bukain pintunya, dong! Aku sama Mami pengen ngomong."

Mendengar kata "Mami" disebut, hatiku luluh. Aku beranjak perlahan, kugeser tubuhku lalu aku bersandar pada almari pakaian.

Mami dan Mas Bima masuk ke dalam. Mami duduk tepat di sebelahku, sementara Mas Bima duduk di sudut ranjang. Kami berhadapan.

"Khansa, ini bukan salahmu, Nak," hibur Mami penuh kelembutan. "Nina memang pencemburu. Kamu tahu itu, kan?"

"Insya Allah setelah ini Mas pulang. Mas akan rujuk," tutur mantan pengasuhku itu.

Aku masih terdiam. Kutatap petak-petak lantai, seakan-akan aku melihat wajah Mbak Nina yang tengah terluka. Mungkin saat ini ia sedang menangis di sudut kamarnya. Menangis seorang diri karena suaminya pergi dan telah menceraikannya. Aduhai, alangkah pedih hatinya. Ya Allah, jagalah Mbak Nina.

Meniti Surga Bersamamu (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang