Sepenggal Perkenalan

4.9K 268 6
                                    

[Assalamu'alaikum, Ustaz. Apakah benar Mas Ihsan sudah mengkhitbah akhwat lain?]

Pesan kukirim pukul 04.05 WIB. Tiga puluh menit menjelang azan subuh. Aku yakin, Ustaz Bakhtiar sudah beraktivitas di pesantren sana.

Sungguh tak tahan jika terus berkubang dalam rasa penasaran. Meski baru semalam, tapi sudah layaknya ikan kehabisan oksigen. Ngap ngap.

Aku yakin, Arum tak berdusta. Namun, entah kenapa aku merasa belum puas jika hanya mencukupkan diri dengan informasi darinya.

[Wa'alaikumussalam warahmatullah. Na'am, itu betul, Khansa. Anti tau dari mana?]

Deg. Bumi seolah berhenti berputar, lalu kembali berputar dengan cepat hingga rasanya aku terlempar.

Kuhempaskan tubuh di atas ranjang. Kutatap langit-langit kamar. Kupejamkan mata. Aku berusaha tenang. Kujawab pesan Ustaz Bakhtiar dengan sangat hati-hati. Kuceritakan bagaimana bisa aku mengetahuinya.

Ingin rasanya hati ini mencela Mas Ihsan. Namun  langsung kuurungkan. Bukankah Islam membolehkan seorang laki-laki mengkhitbah atau menikahi dua wanita dalam satu waktu? Lantas apa hakku mencela Mas Ihsan? Dia pasti punya alasan dan pertimbangan. Nabi shalallahu 'alaihi wasallam meminang Bunda Saudah dan bunda Aisyah dalam waktu bersamaan, bukan? Ah, aku saja yang terbawa perasaan.

Akan tetapi, aku juga masih penasaran. Apakah Arum bersedia jika menjalani pernikahan poligami sejak awal? Denganku? Apakah Mas Ihsan sudah memberitahunya?

Baik, aku harus menanyakan ini pada Ustaz Bakhtiar.

[Apakah Arum sudah tahu kalau Mas Ihsan juga hendak berta'aruf dengan saya, Ustaz?]

[Sepertinya belum.] Ustaz Bakhtiar menjawab singkat.

Nah, kan? Ada apa denganmu, Mas Ihsan? Lantas apa yang membuatmu berambisi ingin menikahi kami berdua sekaligus?

Baik, tunggu Mas Ihsan mengajakku berkomunikasi. Tenang, berusaha husnuzon, berbaik sangka. Tenangkan diri dulu.

***

Usai azan subuh tak lagi terdengar, aku keluar kamar. Kebetulan tamu bulanan sedang bertandang, jadi kuputuskan untuk ke dapur saja. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa kubantu. Meskipun kepalaku masih nyut-nyutan.

"Mbok Jum kok udah di dapur? Kapan nyampenya?" tanyaku pada ART Mami. Perasaan tadi malam Mbok Jum belum ada di rumah ini. Kuletakkan mangkok bekas bakso di wastafel, lalu aku mencucinya.

"Tadi malam jam sebelas, Neng. Neng lagi ndak sehat ya? Sudah, duduk aja. Simbok buatin teh anget, ya?" tawarnya dengan logat medhok khasnya. Mbok Jum berasal dari Jawa. Dia tetangga Papi.

"Buatin susu cokelat aja, Mbok!" perintah Mami setelah keluar dari kamarnya.

Aku duduk menopang dagu, memperhatikan kedua wanita itu.

"Assalamu'alaikum!" salam Mas Rama yang baru pulang dari masjid. Ia ikut bergabung di dapur.

"Udah baikan, Sa?" tanya Mas Rama sambil melepas peci warna hitamnya, lalu menyugar rambutnya. "Tuh, minta dibuatin jus sama Mbok Jum!" Ia mengambil gelas lalu menuangkan air dari dispenser.

"Jadi yang benar ini susu hangat atau jus?" tanya wanita yang usianya lebih muda beberapa tahun  dari Mami.

"Dua-duanya boleh kok, Mbok," sahut Mas Rama. Ia mengambil tempat duduk tepat di seberangku. Kami ... saling berhadapan.

Mas Rama mulai meneguk air putih. Setelah satu tegukan, dia berkata, "Habis ini perbannya dibuka, ya?" lalu ia melanjutkan lagi sampai habis air satu gelas tadi. "Kalau Mami udah selesai masak, sih." Kemudian ia mengambil sebiji pisang. "Soalnya aku harus berangkat pagi-pagi." Ia mulai mengupasnya. Punggung tangannya menampakkan urat-uratnya.

Meniti Surga Bersamamu (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang