Menemui Calon Madu

5K 251 6
                                    

"Kamu ke mana aja?" cecarku pada Jean yang baru berhasil kuhubungi pagi ini.

"Sorry, Sa. Gue di rumah sakit semaleman. Papa drop. Masuk ICU." Suara Jean terdengar parau.

Rasanya, pandanganku terpaku selama beberapa detik.

"Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji'uun ...," gumamku. Air mataku menetes seiring kakiku yang mendadak lemas. Berangsur-angsur, tubuhku melorot dari tepian ranjang.

"Gue udah baca pesan lu. Gue udah ngira, ini bakalan terjadi." Jean mulai terisak. "Gue minta maaf, Sa ...." Kini ia  tersedu.

"Jean ... aku ... minta maaf ...." Betapa kumerasa bersalah telah mencecar dia barusan. "Apa yang bisa kubantu?" tawarku sembari memijit kepala yang mulai berdenyut.

"Mama nyuruh gue balikan lagi ama Martin. Mama marah besar, Sa ...." Jean diam sesaat. Ia makin tersedu-sedu, lalu ia melanjutkan, "Begitu tahu soal ini, Papa langsung drop."

Air mataku mengalir membersamai suara Jean yang sesenggukan. Martin hanya memberi waktu 1x24 jam. Jika Jean tidak kembali, Martin akan menyebar video yang akan menyontreng nama baik Jean. Bukan hanya itu, dia mengancam akan membuat perhitungan denganku dan Mas Rama.

"Semahal inikah harga taubatku, Sa? Ya Allah ...."

Keluh Jean bagai dua dinding yang tiba-tiba bergeser untuk menghimpit tubuhku. Senin lalu, aku sok jagoan menguatkannya. Saat ini, bahkan aku merasa tak punya daya apa-apa.

"Sa, maafin gue. Harusnya gue nggak upload foto kemarin. Harusnya gue nurut ama lu. Dia ngira, lu udah nyuci otak gue. Martin juga ngira gue udah jadian sama Mas Rama."

Aku masih diam, belum bisa memberi tanggapan.

Tok tok tok!

"Jean, bentar, ya? Jangan tutup dulu." Aku mengusap air mata sekilas. Seperti bukan Mami yang mengetuk. Dengan hape masih di genggaman, aku buru-buru membuka pintu.

Ternyata Mas Rama dan ia kaget melihatku.

"Kenapa?" Tangannya seperti hendak meraih pipi yang masih basah.

"Maaf." Tangan itu ia belokkan untuk menggaruk-garuk  bagian belakang kepala.

Aku langsung menghindar dan mengusap seluruh air mata yang tersisa.

"Jean, ini ada Mas Rama." Aku mengeraskan suara telepon, lalu menyerahkannya pada Mas Rama.

"Halo, Jean?"

"Iya, Mas?" Tangis Jean terdengar sudah reda.

"Gimana?"

"Aku minta maaf, Mas ...." Jean kembali terisak.

Mami menghampiri kami yang tengah berdiri di ambang pintu. "Kenapa, sayang?" tanya Mami penasaran. Mami menyentuh lenganku dengan penuh kelembutan.

Sentuhan Mami ... membuat hatiku terasa lapang. Mami sudah tak marah lagi padaku? Alhamdulillah.

"Oke, oke. Tolong critain pelan-pelan." Mas Rama memasuki kamar.

Hei, aku belum mempersilakan! Aku terperangah melihat kelakuan lelaki ini.

Mataku terus mengikuti Mas Rama. Ia sudah duduk di tepian ranjang. Tampak santai saja mengangkat kaki, lalu mengambil guling. Entah kenapa aku kesal melihat tingkahnya. Perbuatannya itu berhasil mengalihkan perhatianku pada pembicaraannya dengan Jean.

"Oke, kamu tenang aja. Kita hadapi bareng-bareng, oke?"

"Gue perlu lapor polisi, nggak, Mas?"

"Oh, jangan dulu, jangan dulu." Mas Rama melirikku. Ia menyunggingkan senyum. Lalu jemarinya menyisir rambutnya yang terurai.

Meniti Surga Bersamamu (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang