Rahasia dari Calon Mertua

4.8K 241 1
                                    

"Eh, Khansaaa!" Tante Shinta menyambutku dengan kehebohan. "Dari mana, sayang?" Ia berdiri, menyalamiku, lalu mencium pipi kanan dan kiri ini dengan gemas.

"Dari ... kampus, Tante," jawabku sambil berusaha mengatur irama jantung yang berdebar-debar. Aku melirik Mami yang tengah tersenyum lebar. Ingin sekali bertanya, kenapa dua beranak ini bertandang.

"Kok baru pulang?" tanya Tante Shinta lagi sambil menggamit tangan kananku.

"Duduk sini, dong ...," perintahnya dengan lembut. Aku hanya bisa menurut.

"Rama mana, Nak?" Mami berdiri lalu melangkah dan melongok ke luar pintu.

"Mas Rama langsung ke klinik, Mi," jawabku seraya mencuri pandang pada lelaki berkulit putih itu. Jemarinya tengah memainkan kunci mobil. Wajahnya seperti tengah memikirkan sesuatu. Jangan-jangan ... memikirkan Arum?

"Emang Rama kerja di klinik mana, Mbak?" tanya Tante Shinta pada Mami. Kini Mami berjongkok dan mengambil sesuatu dari laci meja yang terletak di sudut ruang tamu.

"Di Klinik ... mana itu? Hmm, di Cawang situ pokoknya."

"Oooh." Tante Shinta ganti memandangku. "Kamu udah makan, belom?"

"Belom, Tante." Aku melirik Mas Ihsan lagi. Ternyata dia juga melakukan hal yang sama. Pandangan kami saling bertemu. Buru-buru lirikanku berpindah pada vas bunga di hadapanku.

"Khansa makan dulu, Nak!" perintah Mami dengan lembut sambil memasang kacamata. Detik kemudian, beliau  menulis sesuatu pada selembar kertas. Kertas yang sering beliau pakai untuk kepentingan katering. Apa ... Tante Shinta mau pesan katering? Untuk apa?

"Makan dulu, biar gemukan dikit." Tante Shinta terkikik kecil.

"I ... ya, Tante. Habis ini," jawabku sambil menggaruk lengan yang tak gatal.

"Fa, katanya pengen ketemu Khansa?" goda Tante Shinta pada anak lelakinya.

Lelaki bermata sipit itu tampak malu. Ia menundukkan pandangan. Membuat jantung ini semakin berdebar.

***

Aku berhambur dan langsung memeluk guling. Kubenamkan wajah di atas bantal. Suasana hatiku benar-benar sulit dilukiskan. Antara terlalu senang, malu, penasaran, takut, ah entah apa lagi.

Aku memang belum makan siang, tapi setelah bertemu dengan laki-laki bernama Ihsan Al-Fatih itu, perutku langsung terasa kenyang. Rasanya pun geli. Beginikah bila sedang jatuh hati?

Tok tok!

Segera kuberanjak, memeriksa wajah di cermin besar. Masya Allah! Pipiku kenapa merah sekali? Bagaimana ini? Aku harus bagaimana? Harus berbuat apa?

Oke, tenang, Khansa .... Tarik napas ... tahan ... embuskan ... Tutup sebagian muka dengan ujung khimar.

Kubuka pintu dengan pelan. Terlihat Mami tersenyum padaku. "Belum jadi makan?"

"Belum lapar, Mi."

Mami menatapku heran. Kedua alisnya bertautan. "Kenapa, Nak?"

"Ng ... nggak papa, kok, Mi. Cuma ... nyiumi bau kerudung, kok enak. Hehe ...." Perlahan, kubuka wajah, berharap semu merah itu sudah memudar.

Tatapan Mami masih sama, kemudian beliau berkata, "Ada Alfa sama Mamanya di ruang makan. Temeni mereka, gih! Mami tunggu, ya?"

Mataku terbelalak. Makan di depan Mas Ihsan? Oh, tidak! Jantung ini kembali ngap-ngap.

Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?  Astaghfirullah ... mati gaya, aku!

Mami sudah berlalu meninggalkan tubuhku yang mendadak beku. Kutarik napas berulang-ulang, kutepuk-tepuk pipi ini dengan pelan. Semoga semu merahnya benar-benar sudah hilang.

Meniti Surga Bersamamu (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang