Extra Part

9.4K 321 62
                                    

Kami keluar dari mal saat orang-orang pulang dari kantor. Lalu lintas padat. Mobil yang kami tumpangi berjalan merayap.

Sambil menikmati jalanan yang riuh oleh suara klakson, Mas Rama memutar lagu-lagu Ebiet G. Ade. Dia ikut melantunkan.

Coba engkau katakan padaku
Apa yang seharusnya aku lakukan
Bila larut tiba wajahmu terbayang
Kerinduan ini semakin dalam.

Gemuruh ombak di Pantai Kuta
Sejuk lembut angin di Bukit Kintamani
Gadis-gadis kecil menjajakan cincin
Tak mampu mengusir kau yang manis.

Kenapa bukan murottal saja? Aku lebih suka mendengarnya mengaji daripada menyanyi seperti ini. Namun tak apalah, toh mendengarkan musik dan menyanyi diperbolehkan. Mubah. Asal tidak membuat lalai saja.

“Dulu, Mas pernah naik mobil sama cewek,” tutur Mas Rama setelah puas berdendang

Aku menoleh cepat. Apa maksudnya bicara begitu di depan istrinya? Biar cemburu?

“Terus, Mas puterin lagu ini.” Ia menatapku sebentar. “Mas pengen, dia tahu bahwa isi hati Mas ke dia tuh kurang lebih sama dengan lagu ini.”

Aku menghela napas. Berusaha tetap waras. “Terus?” Kucoba menegarkan diri sambil menatap tiang-tiang LRT. Semoga hatiku kokoh seperti beton-beton itu. Terlebih lagi saat menghadapi suamiku.

“Eh, dianya nggak peka.”

Aku tertawa kecil. Tawa yang terpaksa sebetulnya. “Kasihan, ya?” ucapku datar cenderung sewot.

“Apanya yang kasihan?”

“Udah muterin lagu buat dia, eh, dianya nggak peka.”

“Tau tuh cewek. Bahkan sekarang pun nggak peka juga.”

Aku lekas menoleh. “Maksudnya?”

“Mas lagi ngomongin dia di depannya, dianya juga masih nggak ngrasa.”

Aku mengernyitkan dahi.

“Untungnya, dia udah jadi istri Mas. Bisa Mas tuntut nanti.”

“Maksudnya apa, sih?”

“Taaauk.” Ia tersenyum dengan tatapan ke arah kanan.

Aku menggaruk pipi yang tak gatal sambil berusaha mencerna ucapan Mas Rama. Lagu Nyanyian Rindu masih terdengar.

“Subhanallah.” Aku tertawa sendiri. Teringat saat kami berangkat ke PGC dan Mas Rama memutar lagu ini.

“Kenapa?” tanya Mas Rama sambil menatapku sekilas.

“Nggak papa. Cuma inget sama cowok yang muter lagu ini waktu mau ke PGC kapan hari.” Aku terkikik sambil menutup mulut. Rasa hangat menjalari wajah. Bibir mengulas senyum seperti tak mau sudah.

Mas Rama tertawa kecil lalu mengusap kepalaku. Akhirnya, kami bicara tentang banyak hal. Bernostalgia tepatnya. Saat-saat di mana ia masih membenciku, saat aku bersikap jutek padahal dia sudah berubah, dan aneka masa lalu yang dulu terasa pilu tetapi kini menjadi lucu. Sesekali tawa kami meledak bersama, sesekali aku cemberut, sesekali dia minta maaf, dan sesekali tangannya mengusap kepalaku dengan gemas.

Satu jam menempuh perjalanan, mobil baru berhasil mencapai separuh jalan. Macet luar biasa. Rasa lelah mulai mendera. Rasa kantuk mulai menyapa. Beberapa kali mulut ternganga selebar-lebarnya. Menguap. Mata mulai berat mengejap.

Begitu mata sudah mengatup, tangan Mas Rama mengelus lembut jemariku. Sensasinya seperti aliran listrik yang mengusik kulit. Mungkin, ia mengira aku sudah terlelap. Aku pun sengaja terus memejam, menikmati perlakuannya yang begitu membuatku nyaman.

***

Saat memasuki ruang tamu, kami dikagetkan dengan dua orang wanita yang tampak sendu. Yang satu muda, yang satunya setengah baya. Mami dan Mas Dewa menemani mereka.

“Nak Khansa!” seru wanita setengah baya saat melihat kehadiranku.

Wanita itu bangkit lalu memegang kuat kedua kakiku sambil tersedu-sedu. Kakiku bagai tersentak sampai tubuhku terhuyung ke belakang. Syukur, suamiku lekas menopang.

“Saya minta maaf, Nak ....”

Maaf? Aku dan Mas Rama saling memandang.

“Ibu siapa? Tolong lepaskan saya,” ucapku lirih sambil meronta.

Mas Rama menarik wanita ini agar berdiri. Namun ia tetap bersikukuh.

“Maafkan saya, Nak ....”

Mas Dewa bangkit dan ikut menarik wanita ini. “Sudah, Bu. Kasihan adik saya.”

Kulirik gadis yang masih duduk di kursi. Ia tengah sibuk menyeka air mata. Namun kenapa setiap kutatap, ia membuang muka? Memangnya, siapa mereka?

***

Lanjut di novel, ya?

Sekuelnya sedang proses. Untuk sementara, judulnya masih nggak banget. "Yang Dibenci Jadi Istri." Euh.

Meniti Surga Bersamamu (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang