Lelaki Kualitas Premium

4.8K 254 5
                                    

Ingin kukatakan pada Mami bahwa sudah ada lelaki yang mengajakku ta'aruf. Laki-laki yang jauh lebih baik dari Mas Rama, insyaallah. Akhlaknya, agamanya, bahkan fisiknya. Lelaki yang menurutku lebih dari cukup untuk sekedar dikatakan ideal sebagai sosok calon suami. Terlebih lagi, aku pernah ... jatuh hati padanya. Dulu.

Ya, dulu, aku pernah jatuh hati pada lelaki ini. Seiring waktu berjalan, kutepis rasa itu perlahan. Kata Nabi, tidak ada obat mujarab bagi dua orang yang saling mencintai, selain pernikahan. Masalahnya, yang mencinta itu aku. Hatinya, aku tak pernah tahu. Waktu itu, aku menganggap diri ini bagai pungguk yang merindukan bulan. Lelaki kualitas premium begitu, mana mungkin mau menikah denganku?

Lalu sekarang, proposal ta'arufnya ada di tanganku? Bahagia, penasaran, tak percaya, seperti melebur jadi satu. Hatiku bagai diaduk-aduk saat Ustaz Bakhtiar, guru ngajiku, memberikan proposal itu padaku.

Ihsan Al-Fatih. Mas Ihsan, begitu aku memanggilnya. Seorang mantan presma (presiden mahasiswa), berpostur tinggi, berat badan proporsional, berkulit putih, bermata sipit, berotak cerdas, dan seorang pebisnis muda. Usianya baru 25 tahun, tetapi sudah memiliki sebuah hotel syari'ah di Kota Jakarta ini.

Dulu saat diriku masih berstatus sebagai mahasiswa baru, dia menjadi mentorku di Forum Ilmiah Mahasiswa (FIM). Interaksi yang nyaris intens selama satu semester, meninggalkan kesan yang begitu istimewa di hati ini, hati yang masih begitu polos untuk menerima perhatian dari seorang laki-laki.

Selama menjadi mentor, dia selalu terlihat antusias menjawab pertanyaan-pertanyaanku juga menanggapi dengan serius apa saja yang aku sampaikan. Perlakuan inilah yang berhasil membuatku ke-GR-an. Hei, aku wanita normal, yang bisa marah, bercanda, tertawa, kecewa, sedih, menangis, GR, dan jatuh cinta. Jadi, wajar bukan jika aku menaruh hati padanya?

Setelah bertemu di FIM, selanjutnya, kami intens bertemu di Dewan Dakwah Kampus (DDK). Namun, kami tak pernah saling bicara. Saat itulah, aku mulai mundur teratur. Apalagi teman-teman akhwat sering menyebut-nyebut namanya. Tambah minder lah aku. Terlebih ketika mengaca lalu melihat diri ini yang berbeda dengan akhwat lainnya ... aku sangat jauh untuk dikatakan sebagai sosok akhwat yang ideal dengan kriteria: salihah, lemah lembut, dan pemalu.

Kata para akhwat itu, aku ini cengengesan. Kalau ada momen lucu saat kajian, akulah yang tertawanya paling kencang. Sudah berkali-kali para akhwat lemah lembut itu menegur dan menasehatiku. Awalnya, benar-benar sulit untuk mengubah kebiasaan. Sekarang, derajat cengengesan itu sudah lumayan berkurang.

Nah, dengan banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh Mas Ihsan dan seabrek kekurangan yang melekat padaku, apa mungkin Mas Ihsan tidak salah pilih orang? Aku jadi khawatir kalau-kalau Ustaz Bakhtiar salah memberikan proposal.

Aku harus memastikan. Abaikan dulu kepala yang nyeri dan nyut-nyutan.

[Assalamu'alaikum, Ustaz. Alhamdulillah saya sudah selesai sidang skripsi. Saya sudah baca biodata Mas Ihsan seluruhnya. Apa benar Mas Ihsan ingin ta'aruf dengan saya?] Serangkaian pesan yang kukirim pada Ustaz Bakhtiar.

Mungkin agak konyol, tetapi biarlah.

Sejenak, kulirik mangkok yang belum sempat kubuka. Aku sudah kehilangan selera. Permintaan Mami barusan benar-benar mengusik pikiranku sekarang.

Sembari menunggu balasan dari beliau, aku mengirim pesan kepada Arum.

[Assalamu'alaikum. Arum, afwan ya, tadi belum bisa ketemuan. Mas Rama langsung menjemputku setelah UAS tadi. Aku sakit. Uangnya aku transfer aja gimana?]

Balasan dari Ustaz Bakhtiar:

[Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.. Subhanallah. Ya betul to Khansa. Masa saya salah kasih orang. Jadi kapan anti siap berkomunikasi? Barusan Ihsan tanya sama saya. Dia sudah tau kalau anti sudah sidang.]

Alhamdulillah. Berarti, proposal ini tidak nyasar. Eh, tunggu, dia tahu dari mana aku sudah sidang?

[Alhamdulillah. Saya masih sakit, Ustaz. Jadi belum bisa sekarang. Kalau besok bagaimana?]

Keinginanku untuk segera ta'aruf dengan Mas Ihsan memang sudah menggebu-gebu. Aku justru khawatir menjadi berambisi. Kalau sudah begitu, biasanya setan ikut menyelinap untuk ambil bagian. Kupikir dengan menundanya untuk beberapa waktu, bisa melatih diri untuk bersabar melawan hawa nafsu.

Setelah pesan itu kukirim, aku melihat balasan Arum masuk.

[Iya Khansa. Tahniah ya, atas kelulusan sidangnya. Tadi teman-teman pada ngomongin kamu, loh. Katanya kamu habis kecelakaan. Oh, iya, gak papa. Alhamdulillah, calon suamiku bersedia membantu soal biaya TA.]

Calon suami?
[Masya Allah. Sudah dikhitbah, ya?]

Ustaz Bakhtiar membalas pesanku.
[Sakit apa Khansa? Syafakillah. Insya Allah, saya segera kabari Ihsan.]

Aku membalas:
[Saya mengalami kecelakaan kemarin, Ustaz. Sekarang saya demam. Aamiin. Jazakallah khairan atas do'anya.]

Arum sudah membalas!
[Alhamdulillah. Tadi sore khitbahnya. Akhi Ihsan ke rumahku. Langsung menemui ibuku.]

Akhi Ihsan? Mas Ihsan kah???
[Alhamdulillah. Ooo, namanya Akhi Ihsan? Yang mana, sih? Aku pernah ketemu belum?]

Aku benar-benar berharap yang dimaksud Arum adalah Ihsan yang lain.

[Akhi Ihsan yang mana lagi, Khansa? Mantan presma kita.]

Aku terpaku. Tanganku mulai gemetar. Aku berusaha mengetik lagi.

[Dia juga mau ta'aruf denganku. Kamu tega Rum.]

Tidak mungkin pesan itu kukirim. Yang benar saja.

[Alhamdulillah. Baarakallaahu lakumaa.]

Pesanku langsung centang biru dan Arum langsung mengetik balasan.

[Aamiin. Syukron, Khansa sayang. Semoga segera ada ikhwan yang melamarmu.]

Aku yang dari tadi bersandar pada kepala ranjang, langsung melorot. Kini aku terbaring lemas. Dadaku kembang kempis. Kepalaku terasa berat. Aneka pertanyaan menggelayuti otakku saat ini.

Jika benar Mas Ihsan adalah orang yang mengkhitbah Arum, berarti dia mau langsung poligami sejak awal? Lalu apa pertimbangannya?  Apa Arum sudah tahu? Atau jangan-jangan sudah setuju? Apakah rencana itu sudah diutarakan pada kedua orang tuanya?

Oh tidak, tiba-tiba aku lapar. Aku harus segera makan, minum obat, dan istirahat. Hari esok tampaknya akan lebih berat. Bakso, mana bakso? Apa? Sudah dingin?

***

Mataku tak kunjung memejam. Padahal sudah sejam yang lalu obat-obat itu kutelan. Hidung yang tersumbat membuatku tak nyaman.

'Mas Ihsan mau poligami sedari awal?' Pertanyaan ini benar-benar mengganggu pikiran. Memang di proposal, dia mencantumkan perihal poligami ini. Salah satu kriteria istri yang dia cari adalah bersedia menjalani poligami.

Hei, aku tidak menolak poligami. Ini bagian dari hukum Allah. Masalahnya, sanggupkah aku menjalani  poligami sejak awal? Sejak ... di pelaminan?

Arum akan menjadi maduku? Mas Ihsan akan menghimpun kami berdua dalam rumah tangganya?

Hei, Khansa! Jangan berangan panjang! Ta'aruf baru akan dimulai.

Ya, ta'aruf baru akan dimulai dan rasanya seperti sudah dihantam badai. Apakah memang begini jika ingin mendapatkan lelaki dengan kualitas premium, dihadapkan pada persoalan poligami?

Kalau begini ceritanya, bagaimana mungkin kusampaikan pada Mami dalam waktu dekat ini? Lalu bagaimana pula harus kutolak permintaan beliau? Karena Mas Rama jahat? Ibu mana yang rela jika gelar 'jahat' disematkan pada anaknya?

Rrrggghhh! Kepalaku semakin nyeri.

***

Meniti Surga Bersamamu (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang