LAKI-LAKI MENCURIGAKAN

4.6K 244 6
                                    

[Ukhti, masih ingat dengan foto-foto ini?]

Pesan Mas Ihsan tadi malam baru kubuka pagi ini.

Tanpa berkedip, kutatap tiga buah gambar yang tampak kabur di layar hape. Tulisan "36 KB" terletak tepat di tengah masing-masing gambar. Penasaran, ibu jariku menyentuh salah satunya. "Not enough space memory". Seketika, bibir tipisku meruncing. Kuketik sebuah balasan yang mungkin akan mengecewakan,

['Afwan, saya belum bisa download. Memori hape saya penuh.]  

Hapeku memang sudah udzur. Hadiah dari Papi ketika aku lolos masuk perguruan tinggi. Kata sebagian teman-teman di kelas, hape ini butuh adik baru. Sebagian lagi mengatakan, hapeku sudah sangat layak masuk museum. Alhamdulillahi 'alaa kulli haal.

Kupandangi ketiga gambar itu sekali lagi. Seperti ada sosok anak kecil. Apa maksudnya mengirim foto begini?

Tak mau pusing, kugeletakkan hape di atas meja belajar lalu kutinggal keluar. Rencanaku pagi ini adalah menengok tanaman-tanaman di teras samping yang sudah lama tak merasakan sejuknya air hujan. Sudah beberapa hari ini, hujan tak mengguyur Kota Jakarta. Padahal masih bulan Januari, yang mana menurut teori geografi kuno, hujan sering terjadi pada bulan ini.

Rupanya, pintu samping sudah terbuka dan suasana di luar masih lumayan gelap. Kuedarkan pandangan hingga mataku menangkap sosok Mas Rama di bawah cahaya lampu berdaya 10 watt. Rambutnya diikat, menyisakan anak-anak rambut di tepian kulit kepala. Kaos putih yang ia kenakan sudah basah oleh keringat. Dia sedang latihan silat.

Aku tertarik untuk memperhatikan setiap gerak tubuhnya. Terselip rasa iri. Dari dulu aku ingin sekali ikut latihan bela diri. Namun waktu aku mengutarakan keinginan itu pada Papi dan Mami, Mas Rama mengancam akan sering mengajakku berkelahi. Menjengkelkan sekali, bukan?

Agh, itu masa lalu. Oke, istighfar ....

"Khansa mau ngapain, Nak?" suara Mami dari dapur mengagetkan.

"Mau nyiram tanaman, Mi."

"Masih gelap. Sini dulu bantu Mami!"

Aku menurut, menghampiri Mami yang tengah sibuk menyiapkan mixer.

"Mami bikin apa?"

"Mau bikin bolu kesukaan ... siapa hayo?" Mami mengangkat alis seraya menyunggingkan senyuman.

Senyumku pun merekah seiring mataku yang membulat. Bolu buatan Mami adalah kue kesukaanku dan juga Mas Rama. Ada semacam persaingan tak kasat mata antara kami berdua jika Mami membuat kue ini. Siapa yang diam-diam menghabiskan paling banyak, dialah pemenangnya.

"Sini, Khansa pegang mixer-nya!" Mami mengulurkan benda yang sudah terhubung oleh aliran listrik itu.

Kutekan tonbol "ON", lalu suara bising menyeruak ke segala penjuru ruangan.

***

Mas Rama sudah memanasi mesin mobil. Aku masih menghubungi Jean, memberi kabar bahwa kami siap untuk berangkat. Jarak tempuh rumah kami dengan tempat penjemputan Jean hanya sekitar lima belas menit.

Lima menit kemudian, mobil melaju pelan, keluar dari pagar. Mbok Jum tampak melambaikan tangan.

"Coba engkau katakan padaku
Apa yang seharusnya aku lakukan
Bila larut tiba wajahmu terbayang
Kerinduan ini semakin dalam ...."

Lagu Ebiet G. Ade terdengar dari pemutar musik. Papi adalah fans yang lumayan fanatik. Flashdrive yang terpasang itu milik beliau. Isinya lagu-lagu Ebiet semua. Sampai-sampai aku ikut hafal, kecuali yang berjudul 'Camelia'. Bingung membedakan mana yang Camelia 1, Camelia 2, dan Camelia 3. Ah, aku jadi rindu Papi.

Meniti Surga Bersamamu (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang