Memainkan Peran

4.4K 245 0
                                    

[Udah selesai? Aku numpang salat dulu di masjid kampusmu.] Pesan Mas Rama masuk saat aku mematikan mode pesawat ponselku. Satu setengah jam yang lalu?

Pesan ini memaksa pandanganku menelisik ke seluruh sisi dalam masjid. Mataku mencari-cari sosok lelaki gondrong itu. Dalam hati berharap, ia sudah menyerah karena terlalu lama menunggu.

Belum puas mata ini mencari, sebuah pesan baru dari Mas Rama kembali menggetarkan hapeku.

[Aku di mobil. Samping kanan masjid.]

Satu setengah jam menunggu dan belum juga pulang? Agak kesal, tetapi juga senang. Entah kenapa, Mas Rama menjadi agak perhatian. Seolah, dia sudah berperan sebagai kakak sungguhan. Sedrastis itukah perubahannya? Atau ... agh, karena situasinya sedang geting saja. Lihatlah kalau semua sudah beres dan normal seperti biasa.

Sebentar, apa dia tahu di mana tubuh ini berada? Mengapa menungguku di sana?

Kulirik sudut kiri layar hape. Sudah pukul 13.30 WIB, tetapi rasanya masih berat untuk pulang. Aku masih ingin sendiri. Apa kuabaikan saja pesan dari orang ini?

Ah, tidak. Bukan waktu yang tepat mengabaikan begitu saja.

[Pulang duluan aja,] ketikku.

Hanya dalam hitungan detik, Mas Rama sudah mengirim balasan.
[Udah, ayo pulang! Jangan bikin Mami khawatir!]

Aku menyentak napas. Baiklah, hatiku akan luluh jika nama Mami dibawa-bawa. Sepertinya orang ini sudah tahu sisi lemahku!

Aku keluar dari masjid dengan langkah setengah terpaksa lantaran harus segera pulang. Setelah sepatu terpasang, aku berjalan ke arah kanan, mencari-cari mobil hitam yang plat nomornya sudah sangat kuhafal.

Klakson mobil hitam di depanku berbunyi. Aku bergegas. Setelah sampai di samping kiri jendela, aku mengamati sebentar. Ada Mas Rama di dalam. Aku pun masuk. Tanpa menunggu lama, mobil melaju, meninggalkan kampus dan menyisakan pilu. Terlintas wajah Arum yang ketus. Terlintas wajah Mas Ihsan yang terus menyelinap dalam hati. Terlintas wajah Mami ... Mas Bima, Mbak Nina, dan si Kembar yang membuatku terus membuat hati gundah.

'Khansa, badai pasti berlalu,' bisikku dalam hati, mencoba menenangkan diri.

"Kamu serius mau pergi dari rumah?" Kalimat Mas Rama membuatku tersentak.

"Hah? Em ...." Apa Mami sudah cerita?

"Mami udah cerita," imbuhnya.

Aku belum berani merespon. Mataku melirik ke kiri, melihat deretan toko yang bangunannya menghabiskan separuh trotoar.

"Secepat itu?" tanya Mas Rama lagi. "Apa sih, yang ada di otak kamu?"

Kalimat terakhir itu terdengar seperti, "Kamu nggak punya otak?" Mungkin karena suasana hati sedang tak mendukung, sehingga sensitifitas perasaan meningkat tajam.

"Gimana kabar Jean?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Rasanya percuma membahas persoalan tadi dengan manusia yang tak memahami kondisi.

"Baik-baik aja," sahutnya datar.

Hatiku sedikit lega. Akhirnya aku berhasil mengalihkan isu!

"Tadi Mas Rama ketemu dia?"

"Dia siapa?" Ia balik bertanya tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.

"Jean?"

"Enggak."

"Terus, gimana hasil ketemuan sama Martin?" tanyaku  penasaran.

"Nanti aja aku cerita. Kalau udah di rumah." Matanya masih asyik menatap jalanan.

Ngobrol apa lagi, ya? Hmm ....

Meniti Surga Bersamamu (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang